Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemuda Marah hingga Rusak Motor, Mengapa Emosi Bisa Berujung Destruktif?

Kompas.com - 08/02/2019, 11:32 WIB
Retia Kartika Dewi,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah video yang memperlihatkan seorang pemuda merusak motor setelah tidak terima ditilang oleh polisi viral di media sosial sejak Kamis (7/2/2019).

Video berdurasi 52 detik itu juga menuai banyak komentar dan respons dari warganet karena aksi merusak motor sampai nyaris melukai orang lain yang dilakukan pemuda tersebut.

Banyak juga warganet yang mempertanyakan, apa yang menyebabkan seseorang bisa melampiaskan emosi hingga merusak, bahkan di depan publik.

Baca juga: Psikolog: SIM Pemotor yang Merusak Motornya Sendiri Saat Ditilang Sebaiknya Dibekukan

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Drs Koentjoro MBSc PhD memberikan penjelasan mengenai penyebab seseorang melampiaskan emosi tak terkendali.

"Emosi yang tidak terkontrol. Biasanya dilakukan oleh orang ini terbiasa dimanja. Apa pun dituruti. Perilakunya dalam bahasa Jawa disebut kalap," ujar Koentjoro saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (7/2/2019).

Menurut Koentjoro, emosi dalam kasus ini adalah letupan ketidakpuasan yang dinyatakan dalam perilaku. Adapun, kalap yang muncul merupakan "puncak emosi" atau sifat dasar yang dirasakan saat itu.

"Emosi itu sifat dasar manusia, isinya cinta, marah, dan benci," ujar Koentjoro.

Baca juga: Motor yang Dirusak Pengemudi Emosi karena Ditilang Diamankan di Mapolres Tangsel

Tak hanya itu, kasus luapan emosi yang tidak terkontrol ini diyakini bisa merugikan beberapa pihak.

Koentjoro mengungkapkan, akibat yang timbul jika emosi ini tidak dapat dikendalikan adalah adanya tindakan untuk menyakiti orang lain, tidak hanya merusak barang.

Namun, jika dinilai dalam kasus video ini, obyek yang menjadi luapan emosi adalah motor yang dikendarai pelaku. Padahal, alasan dia marah adalah polisi yang menilangnya.

"Dia mau menyakiti polisi enggak berani, jadi motornya dirusak," ujar Koentjoro.

Menurut Koentjoro, orang yang tengah "kalap" ini berawal dari emosi yang sederhana hingga meningkat menjadi emosi yang tidak terbendung lagi.

"Orang yang kalap biasanya ada eskalasi kemarahan, dari tingkatan simpel menjadi tingkatan kalap," ujar Koentjoro.

Baca juga: Begini Kondisi Sepeda Motor yang Dirusak Pengendaranya karena Tak Terima Ditilang

"Makanya dalam agama Islam, kalau orang sedang marah disuruh duduk, jika masih marah suruh tiduran, jika masih marah, mintalah ia untuk berwudhu (menyucikan diri dengan air)," kata dia.

Koentjoro kemudian teringat pada kasus Ryan Jombang yang juga meluapkan emosi hingga merugikan beberapa pihak.

Dalam kasus itu, pria bernama Very Idham Henyansyah membunuh 11 korban. Bahkan, ada korban yang ditemukan dalam keadaan dimutilasi.

"Kasus ini kalau kebablasan bisa tidak menguntungkan orang tersebut. Saya jadi ingat kasus Ryan Jombang. Ryan itu berkembang dari hal semacam ini," ujar Koentjoro.

Dalam hal ini, emosi Ryan menjadi tak terkendali karena perasaan cemburu.

Baca juga: Mengapa Kita Bisa Gampang Marah Saat Lapar?

Tak kondusif

Ilustrasi emosi dan marahKristinaJovanovic Ilustrasi emosi dan marah
Seorang psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Hening Widyastuti mengungkapkan bahwa emosi ini dapat timbul jika pelaku tidak mendapatkan ketenangan jiwa.

Kondisi ini diduga berasal dari urusan keluarga atau kondisi lingkungan yang tidak kondusif.

"Bila hubungan di dalam keluarga inti karut-marut, tidak harmonis, secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi sisi kelabilan dan pengontrolan emosi si individu tersebut," ujar Hening saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (7/2/2019).

Hening juga mengatakan, jika ia dalam lingkungan keluarga tidak mengalami ketenangan jiwa, ia akan mencari ketenangan ke grup/teman-teman terdekatnya.

"Grup adalah kontribusi terbesar saat ini, pembentukan karakter positif atau negatif, karena sangat besar pengaruhnya dalam membentuk jati diri," ujar Hening.

Hal yang dikhawatirkan adalah pihak pria terjerumus dalam grup yang membentuk karakter negatif, akibatnya kemampuan mengontrol emosi semakin berkurang.

"Pengontrolan emosi menjadi lepas di mana ada sesuatu yang menyinggung harga diri dan perasaannya, maka ia berani melakukan hal-hal destruktif. Contohnya, membakar dan merusak motor atau benda-benda lainnya, bahkan bisa membunuh manusia,"
ujar Hening.

Hening menungkapkan, solusi yang dapat dilakukan jika ada orang terdekat yang sulit mengontrol emosi, yakni terjalinnya kerja sama antara keluarga inti, pihak sekolah/intuisi pendidikan, masyarakat luas, dan pemerintah.

Tak hanya itu, Hening mengatakan bahwa untuk mengenali kesadaran emosi dalam diri kita, yakni mengenali agama lebih awal tentang perilaku baik dan buruk, nilai dan norma dalam kehidupan.

"Kedua aspek tersebut berkaitan dengan hati nurani manusia yang notabene sebagai filter perbuatan sikap serta perilaku kita," ujar Hening.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com