KOMPAS.com - Penyakit kusta masih ditemukan di Indonesia. Kusta terjadi karena infeksi pada saraf dan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
Selama ini penyakit kusta dapat menular melalui pernapasan, udara, dan kontak langsung dengan penderita yang belum terobati.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wiendra Waworuntu menyampaikan bahwa apabila terlambat menangani penyakit kusta, maka penderita tersebut dapat menjadi sumber penularan.
Salah satu faktor penularan juga karena penderita belum mengonsumsi obat kusta.
"Ini (kusta) tidak berasa karena itu banyak masyarakat menganggapnya biasa. Sebenarnya permasalahan kusta itu hanya dia bercak dan tidak berasa, jadi dia anggap biasa. Padahal kalau terlambat ditemukan dan aktif bakterinya menjadi sumber penularan," kata Wiendra di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Wiendra menjelaskan, masa inkubasi penyakit kusta memerlukan waktu lumayan lama, yaitu rata-rata tiga hingga lima tahun.
Indonesia berada di posisi ketiga di dunia setelah India dan Brazil dalam jumlah kasus baru yang ditemukan pada jangka waktu satu tahun.
Baca juga: Penyembuhan Kusta, Keluarga Penting untuk Dorong Semangat
Tercatat, angka penemuan kasus baru di Indonesia sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk, dengan total kasus baru sebanyak 15.910.
Secara nasional, pada 2000 Indonesia telah mencapai eliminasi kusta, yaitu angka kasus kusta terdaftar atau angka prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun, masih terdapat beberapa daerah yang belum masuk eliminasi kusta, yaitu wilayah Jawa bagian timur, Sulawesi, Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Adapun, pada Januari 2018 angka pravelensi kusta di Indonesia berada 0,71 per 10.000 penduduk dengan total 18.248 kasus terdaftar.
Berdasarkan bebannya, kusta dibedakan menjadi dua kelompok yakni beban kusta tinggi dan beban kusta rendah.
Beban kusta tinggi yaitu apabila angka penemuan kasus baru melebihi 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1.000. Sedangkan, beban kusta rendah yaitu apabila penemuan kasus baru kurang dari 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1.000 kasus.
Pada 2015-2016, tercatat sebanyak 11 provinsi termasuk beban kusta tinggi. Sementara itu, di 23 provinsi lain termasuk dalam beban kusta rendah.
Bentuk kelainan pada penderita kusta dapat berbeda-beda. Ciri-ciri itu biasanya muncul pada kulit dan pada saraf tepi.
Pada kulit, ditandai dengan terdapatnya bercak putih atau merah yang tidak terasa gatal, tidak nyeri, tapi kurang rasa atau mati rasa. Bercak biasanya ditemukan di bagian siku, di sekitar wajah, telinga, atau badan.
Sementara, pada saraf tepi ditandai dengan mati rasa pada area telapak tangan dan atau telapak kaki yang mengalami kerusakan saraf, kelumpuhan di tangan dan kaki, kulit kering (tidak berkeringat), rambut alis rontok sebagian atau seluruhnya.
Baca juga: Perjuangan Dokter Tangani Kusta, Lewati Pematang hingga Ditolak Pasien
Divisi Dermatologi Infeksi Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sri Linuwih Menaldi mengatakan bahwa kusta merupakan penyakit menular, namun tidak mudah menular.
Kelainan juga dapat terjadi pada mata, biasanya ditandai dengan refleks kedip berkurang, dan kelopak mata tidak menutup dengan baik.
Masalah kusta yang lebih serius dapat terjadi cacat menetap seperti jari bengkok, memendek, atau terputus, kelumpuhan tangan dan kaki, kelopak mata tidak menutup, dan kebutaan.
"Yang perlu kita waspadai adalah Indonesia penyumbang kusta ke-3 di dunia. Kelainan pada kusta ini mirip dengan penyakit lain, seperti panu, kurap, dan kaligata," kata Sri.
Pengobatan efektif pada penyakit kusta diberikan dengan multi drug treatment (MDT). Masa pengobatan tersebut dibedakan berdasarkan tipe penyakit.
Untuk tipe PB (pausbasiler), memerlukan pengobatan secara efektif selama enam bulan, sementara tipe MB (multibasiler) selama satu tahun.
Tujuan pengobatan kusta sendiri adalah memutus rantai penularan, mencegah cacat atau agar cacat tidak berlanjut, menangani komplikasi, serta memperbaiki kualitas hidup penderita.
Kusta dapat disembuhkan tanpa kecacatan, asal penyakit ditemukan sejak dini dan diobati. Penemuan kasus dan pengobatan dini menjadi satu-satunya cara paling efektif memutus rantai penularan penyakit ini.
Berdasarakan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, berikut kasus baru kusta tiap provinsi berdasarkan jenis kelamin per April 2018: