Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi

Kompas.com - 11/02/2019, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Saat kita sedang euforia gegap gempita merayakan lonjakan ekonomi keluarga dengan aplikasi pesanan makanan, negara-negara yang penduduknya mempunyai penghasilan lebih besar tapi literasi gizinya juga lebih maju, malah menikmati kegiatan memasak di rumah sebagai keseharian, bagian dari disiplin dan komitmen.

Karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Tanpa dibuat ribet. Pun menunya sederhana, dengan bumbu sederhana bahkan berasal dari yang tumbuh di pot rumah.

Di sini, kembali memasak menjadi begitu repot dan memusingkan saat para selebrita dan juru masak masa kini menunjukkan kebolehannya di televisi dengan rangkaian alat masak mahal dan tampilan makanan gaya hotel berbintang. Gagal fokus seperti biasa.

Akhirnya memasak bukan lagi untuk kembali ke kesederhanaan yang menyehatkan, tapi justru mencocok-cocokkan masakan rumah agar rasanya sama seperti yang beli di luar sana.

Baca juga: Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Idealnya, jika literasi dan pola asuh berjalan seiring dengan peningkatan ekonomi keluarga, maka uang yang didapat bukan langsung dijadikan sarana ‘bunuh diri’ lewat makanan bernutrisi rendah dan hanya tinggi gula-garam-lemak, melainkan ditabung untuk membeli lemari es atau pendingin yang berkapasitas lebih besar, agar mampu menampung bahan makanan segar selama seminggu sebelum diolah.

Menukar kompor berpolusi dengan yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Membuat sirkulasi dapur lebih sehat sekaligus pencahayaan yang lebih baik.

Memasak adalah bagian dari aktivitas keluarga, melekatkan satu sama lain, bahkan memberi makna ‘masakan mama’ saat sang mama sudah tiada.

Menikmati masakan rumah adalah bentuk penghargaan atas jerih payah dan upaya orangtua – yang akan dicontoh, ditiru anak-anaknya.

Memilih, mengolah dan meracik adalah kreativitas pencegah kepikunan – karena otak akan mengingat rasa dan mengurai aroma.

Baca juga: Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Kembali memasak di keluarga bukan berarti mematikan jasa layanan antar dan semua rentetan pelaku ekonomi yang terlibat dalam aplikasi tersebut. Tidaklah se-fatal itu.

Pekerjaan pada prinsipnya akan selalu tersedia bagi semua orang yang ulet dan rajin. Tanpa harus berebut pekerjaan yang sedang ‘tren’.

Dengan kesempatan bersekolah lebih tinggi, dan etos kerja yang lebih baik, masih banyak pekerjaan bergaji layak menanti.

Meningkatnya pendapatan, makmurnya ekonomi pendapatan keluarga akan kelihatan amat konyol jika satu per satu keluarga kita menderita obesitas, hipertensi, diabetes, stroke hingga kanker: hanya karena salah mengolah rezeki dan pendek literasi.

Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com