Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dara Nasution

Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia lulus dari FISIP Universitas Indonesia pada tahun 2017.

Mengapa Anak Muda "Fall in Love With People We Can’t Have"?

Kompas.com - 20/02/2019, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

JURU bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Gamal Abinsaid, baru-baru ini menyatakan bahwa banyaknya anak muda menjomblo disebabkan oleh himpitan ekonomi.

Para millennial, menurut Gamal, menghadapi situasi di mana pekerjaan kian sulit diperoleh. Situasi ekonomi ini menyebabkan mereka melajang.

Pembicaraan tentang jomblo memang mengemukan beberapa tahun belakangan. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, menjadikan topik ini menjadi salah satu tema kampanye media sosialnya, terutama Instagram.

Semasa menjabat sebagai Wali Kota Bandung, ia bahkan membangun sebuah playground dengan nama Taman Jomblo.

Namun benarkah fenomena ini disebabkan oleh himpitan ekonomi?

Di sejumlah daerah memang sering terdengar kabar tentang bagaimana sepasang kekasih gagal ke pelaminan karena mahar yang tak terjangkau. Sering pula muncul cerita cinta yang terpaksa kandas karena terhalang status sosial. Masuk akal.

Cinta yang retak atau kandas sebelum berlabuh sudah ada dan akan selalu ada di setiap masa. Di masa lalu ada Siti Nurbaya atau Romeo and Juliet. Sebagian kandas karena himpitan ekonomi.

Namun tidak sedikit anak muda  yang melajang kendati sudah mapan. Lantas, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap sendiri?

Ternyata, ada fenomena yang belakangan marak terjadi di kalangan anak muda; we fall in love with people we can't have. Kami jatuh cinta dengan orang yang tak bisa kami miliki.

Alasan di balik cinta yang tak bisa bersatu macam-macam. Entah karena si dia sudah bersama orang lain, perbedaan keyakinan, hingga sesederhana perasaan yang tak berbalas saja.

Sekilas, tindakan falling in live with people we can't have ini terlihat menyedihkan. Desperate.

"Aelah, kayak gak ada orang lain aja buat dicintai," adalah sekelumit komentar yang sering terdengar. Dari miliaran orang di dunia ini, mengapa mencintai dia yang tak terjangkau?

Sebagai anak muda yang pernah fall in love with people I can't have, izinkan saya mewakili perasaan jutaan anak muda Indonesia lainnya. Izinkan saya menjelaskan mengapa kami memilih jalan terjal dan berbatu ini.

Bukan karena himpitan ekonomi 

Tentu ada banyak penjelasan tentang mengapa kami, anak-anak muda, memilih melajang. Namun jika, seperti kata Gamal, hal ini terjadi karena himpitan ekonomi, nampaknya bukan.

Chatib Basri, dalam tulisannya di "Bisnis Indonesia", Yang Muda, Yang Menganggur, memaparkan data tentang pengangguran di kalangan milenial yang berkurang dari tahun ke tahun.

Mengikuti tren penurunan pengangguran terbuka, di kalangan muda (15-24 tahun), angka pengangguran juga menurun, dari 22 persen tahun 2014 menjadi 20 persen pada tahun 2018. 

 

Sementara untuk kategori penganggur dan setengah penganggur muda, angkanya juga menurun dari 33 persen menjadi 29 persen di periode yang sama.

Dari fakta ini saja sudah terlihat bahwa alasan himpitan ekonomi untuk fenomena jomblo apalagi falling in love with people we can’t have sudah terbantah dengan sendirinya.

Namun Chatib Basri juga menunjukkan bahwa ternyata penurunan penganggur muda itu lebih banyak terjadi pada lulusan SMA ke bawah atau kalangan yang lebih miskin.

Sementara lulusan SMA ke atas pengangguran masih stabil bahkan cenderung meningkat. Bagaimana itu bisa terjadi? Penjelasan mantan Menteri Keuangan Indonesia ini menarik dan relevan dengan topik tulisan ini.

Salah satu penjelas, menurut Basri, mengapa lulusan SMA ke atas terlihat lebih susah mencari pekerjaan adalah karena kelompok ini lebih selektif.

Mereka menerapkan standar yang lebih tinggi pada pekerjaan yang mereka inginkan. Sementara kalangan lulusan SMA ke bawah tidak terlalu pusing soal jenis dan bahkan jumlah pendapatan dari pekerjaan yang mereka kejar. Asal bisa hidup, cukuplah.

Standar tinggi

Penjelasan ekonom terbaik Indonesia ini sangat masuk akal.

Namun pertanyaan penting yang tidak terjawab oleh artikel itu adalah mengapa kalangan muda yang lebih terdidik itu menerapkan standar yang lebih tinggi yang pada akhirnya mereka mau mengambil resiko menunda mendapatkan pekerjaan demi memenuhi ekspektasi mereka? 

Apa yang menyebabkan mereka memiliki imajinasi yang lebih tinggi?

Para ekonom selalu bicara bahwa tindakan ekonomi ditentukan oleh ekspektasi tentang masa depan. Jika publik merasa di masa depan keadaan akan lebih baik, mereka akan berani mengambil resiko untuk membuka usaha atau berinvensitasi. Sebaliknya, jika publik merasa di masa depan ekonomi akan memburuk, kemungkinan mereka tidak akan berani mengambil resiko dan akan bersiap untuk kemungkinan yang buruk itu.

Nampaknya asumsi ini berlaku pada anak-anak muda terdidik yang menunda pekerjaan yang ada untuk mengejar yang lebih sesuai dengan ekspektasi mereka. Hal ini mungkin terjadi karena ada optimisme masa depan akan lebih baik.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Dalam banyak survei opini publik, masyarakat Indonesia secara umum memiliki pandangan yang positif tentang ekonomi. Mereka menganggap ekonomi kian hari kian membaik. Berdasarkan ekspektasi positif inilah anak-anak muda Indonesia membangun impian.

Ekspektasi yang tinggi itu mungkin terjadi karena dua hal yang bertemu.

Pertama, pendidikan dan akses informasi yang lebih baik membuat kelompok milenial memiliki kapabilitas dan skill yang lebih baik.

Kedua, Indonesia menganut sistem demokrasi di mana publik bisa memaksimalkan potensinya untuk meraih impian yang mereka inginkan.

Bertemunya kualitas sumber daya yang baik dan kebebasan sosial membuka jendela yang demikian luas bagi segala kemungkinan. Ada begitu banyak opsi masa depan yang bisa diraih. 

Mengapa harus terburu-buru?

Cinta yang paling keras kepala

Fenomena anak-anak muda Indonesia yang menunda mendapatkan pekerjaan ini pula terjadi pada kasus fenomena hidup lajang.

Mereka menunda menerima pasangan yang tersedia untuk mendapatkan yang lebih. Mereka berani mengambil resiko hidup melajang untuk sementara ini karena mereka percaya diri bisa mendapatkan yang lebih.

Berbeda dengan Gamal atau sejumlah orang yang cenderung menempatkan tindakan ini sebagai perilaku putus asa, falling in love with people we can't have justru menggambarkan optimisme luar biasa.

Anak-anak muda, berani menetapkan target jauh di atas kemampuannya hari ini. Mereka tidak mudah puas dengan apa yang bisa dimiliki hari ini. We strive for the better ones.

Kami yakin suatu saat nanti, people we can't have akan jadi people we can have.

Lalu dalam optimisme itu, dan didukung oleh fasilitas yang ada, kami memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Infrastruktur yang terbangun di mana-mana memungkinkan kami bergerak lebih mudah.

 

Pembangunan ini tidak hanya terjadi di kota, tapi juga ke desa-desa. Melalui program dana desa yang sebagian besarnya diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur, telah terbentang jalan-jalan baru dan mulus di daerah perdesaan.

Pembangunan ini berjalan demikian cepat. Pada bulan Maret 2018, misalnya, Kemendes PDTT mencatat sudah tersedia 123.145 KM jalan desa. Hanya dalam 6 bulan kemudian, sudah tercatat 191.600 KM jalan desa.

Semua ini, bersama akses pada informasi yang kian cepat, menjadi jendela yang terbuka lebar bagi semua impian.

Jika sang gebetan suka membaca buku, kami pun akan ikut membaca buku-buku yang ia suka agar nyambung saat ngobrol. Internet menyediakan itu semua.

Kalau si dia suka nongkrong di gym, maka sebisa mungkin kami ikut berolahraga. Kami punya kemampuan untuk itu.

Ilustrasi cintaTeraphim Ilustrasi cinta

Kita tentu masih ingat bagaimana tokoh Nam dalam film Crazy Little Thing Called Love rela belajar mati-matian agar jadi juara kelas supaya menarik perhatian Shone. Itulah contoh "bucin" (re: budak cinta) yang konstruktif, mylov.

Kami digerakkan oleh harapan bahwa suatu hari nanti, people we can't have akan melihat semua upaya kami itu, lalu berpaling.

Kami punya imajinasi tentang apa yang mungkin kami capai jika kami berusaha cukup keras. Kami punya gambaran dunia ideal yang mestinya kami gapai. Kami tidak puas dengan "the world as it is". Kami ingin "the world as it SHOULD be". 

Setelah semua upaya perbaikan diri ini, ada kemungkinan si dia tak juga melongok. Si dia memilih menua bersama orang yang ia kira jodohnya.

Tapi tak mengapa. Paling tidak kita sudah memperjuangkan perasaan itu. Ada heroisme di sana. Ibarat kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, "Kita sudah melawan. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya."

Falling in love with people we can't have adalah bentuk cinta paling keras kepala. Saya mau kamu atau tidak sama sekali.

Kerap kali, cinta ini menjelma menjadi cinta paling tabah sedunia. Memangnya gampang menyaksikan ia menghabiskan waktu bersama orang yang ia kira jodohnya?

Kami, anak-anak muda yang fall in love with people we can't have, bergerak penuh optimisme dan keberanian. Kami tidak menyerah pada keadaan kini.

Jika McKinsey Global Institute memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terkuat ketujuh dunia tahun 2030 atau keempat menurut Standard Chartered Plc., maka apa yang harus kami takutkan untuk bermimpi mendapatkan pasangan yang lebih ideal di masa depan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com