KOMPAS.com - Jam menunjukkan pukul 5 sore. Saya berjanji bertemu dengan Rifky Ferdinan, pemilik brand sepatu Word Division di sebuah tempat jasa pengiriman daerah Cibaduyut, Bandung.
Setelah bertemu dan tegur sapa, bersama salah seorang temannya Rifky langsung membawa saya melewati gang kecil untuk sampai ke sebuah rumah kos yang disulap menjadi gudang Word Division.
"Maaf agak berantakan dan kecil," katanya sembari mempersilakan masuk.
Di ruangan tersebut tampak tumpukan boks sepatu setinggi satu meter, serta beberapa sepatu lain yang disebutnya sampel. Meski baru sampel, sepatu tersebut sudah habis dipesan.
"Ini produk baru kami, tie dye. Saya coba-coba sendiri sih," ujarnya sambil tertawa.
Bagian menarik dari koleksi ini selain handmade dari pengrajin Cibaduyut, juga memiliki permainan warna.
Rifky memang konsisten mencoba hal-hal baru agar koleksinya yang selama ini didominasi warna hitam dan putih punya sedikit variasi.
Merealisasikan kesenangan
Word Division didirikan Rifky pada 2015, saat ia merasa bosan dengan pekerjaannya saat itu di industri ritel.
Semula Rifky membuat produk kaus untuk label WD yang dijual secara kecil-kecilan. Tak berapa lama ia mendapatkan ide lain untuk menggeluti dunia sepatu.
Saat itu, ia diminta mertua untuk membereskan barang-barang bekas membuat sandal dan sepatu.
"Karena gue sendiri suka sepatu, terutama Vans, ah gue coba bikin," katanya
Ia mengerjakan sendiri semua desain, mulai dari menggambar dan mencoba menemukan logo yang pas. Bentuk logo huruf "W" seperti petir ia dapatkan setelah melihat tato petir di tangannya yang dibuat tahun 2014.
"Kalau dilihat-lihat, petir, mirip W (melambangkan Word Division)," ujarnya.
Bermodal Rp 5 juta, Rifky mulai mencoba-coba membuat sepatu dan menggandeng teman yang juga pengrajin sepatu.