Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Fast Fashion", Tren Mode yang Lestarikan Sifat Konsumtif?

Kompas.com - 15/03/2019, 16:09 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perkembangan pesat dari dunia mode telah melahirkan fast fashion --istilah modern untuk menyebut pakaian murah yang diproduksi cepat oleh pengecer demi menanggapi tren baru.

Bagi banyak orang, kemunculan fast fashion justru menjadi kabar buruk yang semakin melanggengkan budaya konsumerisme di masyarakat.

Kabar buruknya lagi, fast fashion turut menyumbang pencemaran lingkungan dan eksploitasi pekerja demi menciptakan produk murah yang bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat.

Namun sayangnya pula, kondisi itu justru semakin meningkatkan sifat konsumtif.

Lalu, apa sebenarnya fast fashion itu? Apakah fast fashion benar-benar berdampak negatif pada manusia dan bumi?

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, simaklah ulasan sejumlah pakar, berikut ini.

Dosen mode dari University of Leeds, Dr Mark Sumner, mengatakan, ada empat musim yang berlaku di sebagian besar negara - yaitu musim semi, panas, gugur, dan dingin.

Nah, kini industri fesyen terbagi dalam empat fase tersebut. Hal ini jauh berbeda dengan industri fesyen zaman dulu.

Baca juga: Kurasi Ketat Lahirkan 3 Duta Indonesia untuk Fesyen Streetwear Dunia

"Ketika saya pertama kali memulai di industri ini, kami biasanya bekerja pada dua musim: musim semi/musim panas dan musim gugur/musim dingin," ucapnya.

Ada banyak produk baru yang hampir setiap hari bermunculan di toko. Proses desain produk-produk itu juga telah ditekan sedemikian rupa.

Misalnya, pengecer online Boohoo dapat memproduksi celana jogger dan menjualnya hanya dalam waktu dua minggu.

Bahan mentah yang dipakai untuk membuat produk tersebut biasanya telah diproduksi.

Desain final dan pengiriman pun dibuat seefisien mungkin demi memenuhi perdagangan global.

Namun, perputaran yang cepat dalam industri tak selalu berarti buruk, begitu pula sebaliknya.

“Sebagian besar keberlanjutan produk dipengaruhi bahan mentah dan tahap pemrosesan,” kata Sumner.

Jadi, jika sebuah merek tidak berkomitmen untuk menggunakannya, katakanlah, bahan katun ramah lingkungan, kecepatan tidak relevan, itu sama saja tak mendukung etika kerja.

"Kecepatan bukanlah segalanya yang harus dilakukan," ucap Orsola de Casto, salah satu pendiri Fashion Revolution.

Baca juga: Sejarah Desainer Pertama hingga Perkembangan Paris Jadi Kiblat Fesyen Dunia

Fashion Revolution adalah sebuah kelompok advokasi global yang menyerukan transparansi, kesinambungan, dan etika yang lebih besar dalam industri fesyen.

Menurut dia, banyak industri clothing dan koleksi kapsul dari perancang baru yang dapat menjangkau konsumen dengan kecepatan yang sama.

"Cepat bukan masalah, yang menjadi permasalahan adalah kuantitas - semakin tinggi kuantitas produk justru memacu banyaknya limbah," tambah dia.

Harga murah untuk fast fashion

Pada dasarnya, penentuan harga didasarkan pada prinsip skala ekonomi.

Bahan kain yang dipakai dalam industri fesyen biasanya mencapai 50-60 persen dari biaya produk.

Selain itu, masih terdapat diskon untuk pembelian dalam jumlah besar, dan beberapa kain lebih murah dari jenis kain yang lain.

"Kain yang lebih murah biasanya lebih ringan karena dibuat dengan proses sederhana dan mungkin, tak memiliki lapisan atau fungsi khusus pada kain tersebut," kata Sumner.

Faktor lain yang memungkinkan merek tertentu dapat menjual pakaian dengan harga lebih murah dari merek lainnya adalah uang yang digunakan untuk pemasaran mungkin lebih sedikit.

Juga, biaya pengiriman dan pengembalian yang lebih hemat dari biaya marjinal.

"Semua pekerja yang terlibat dalam rantai suplai mode -petani kapas, pemintal, penenun dan pekerja garmen- tidak dibayar dengan upah yang adil dan cukup untuk hidup layak," kata de Castro.

Baca juga: Ikon Fesyen Dunia Karl Lagerfeld Meninggal di Usia 85 Tahun

Cara lain untuk dapat menghasilkan produk dengan harga jual rendah tanpa merugi, menurut de Castro, adalah dengan mengambil keuntungan dari harga yang lebih rendah di pasar negara berkembang.

Demi melihat lebih dalam mengenai kejamnya industri fast fashion, ada film dokumenter yang diunggah di YouTube oleh Charity Traid.

Film itu menceritakan kisah pekerja garmen Kamboja yang banting tulang dengan kembali menggunakan dan menjual pakaian demi memperkaya majikannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com