Para pekerja tersebut hanya dibayar 3,37 pondsterling atau Rp 63.000 per hari.
Mereka dipaksa untuk bekerja keras dari pagi hingga malam di dalam pabrik bersuhu lebih dari 40 derajat.
Ada banyak kisah suram seperti ini dalam industri fesyen.
Namun, Sumner mengatakan, potret suram dari pekerja industri fesyen yang dibayar murah ini harus diberitakan media sesuai konteks budaya.
Meski tidak sesuai moral, kata Sumner, semua ini adalah hal yang legal.
Secara mengejutkan, kisah suram fast fashion pun terjadi di negara maju seperti Inggris.
Produk pakaian buatan Inggris juga mengalami peningkatan berkat fast fashion.
Namun, semua itu terjadi berkat pengorbanan pekerja garmen di "pabrik gelap" di Leicester yang dibayar 3,5 pondsterling atau Rp 66.000 per jam, di bawah upah minimum setempat yang 7,83 pondsterling atau Rp 147.000.
Ini sulit diprediksi karena merek dan pengecer menjaga informasi ini dengan cermat.
Namun, label Private White VC, yang secara terbuka menyatakan kenaikan harga 2-3 kali lipat, menyebut kenaikan ini lebih kecil daripada label mewah yang mencapai 5-7 kali.
Baca juga: Banyak Label Fesyen yang Tak Lagi Pakai Bahan Bulu Binatang
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.