Namun, biaya rendah dan perputaran cepat fast fashion memang mudah rusak dan mendorong konsumen untuk kembali membeli.
Dalam setahum, sebanyak tiga dari lima produk fast fashion berakhir di tempat pembuangan sampah atau insinerasi alias pembakaran sampah. Sebanyak 235 juta di antaranya terjadi pada tahun 2017.
Menurut Sumner, nilai pakaian telah menurun.
Baca juga: Merek Fesyen Milik Justin Bieber Luncurkan Koleksi Baru
Berdasarkan penelitiannya, orang juga membuang atau menyumbangkan pakaian yang sebagian besar adalah produk yang berfungsi sempurna.
Alasannya karena pakaian telah usang, demikian menurut Sumner - meskipun dia menyebut kualitas menurun dan orang memilih membuangnya karena warna pakaian mulai kusam.
"Nilai bukan hanya yang terlihat, tetapi juga hubungan emosional yang kita miliki dengan pakaian," kata dia.
Sekali lagi, mentalitas ini tidak terbatas pada fast fashion tetapi merupakan budaya yang jauh lebih luas.
Orang tertarik pada yang murah, dan lebih memilih membeli yang baru daripada memperbaikinya.
"Saya yakin jika Anda memeriksa lemari pakaian, Anda mungkin akan menemukan barang-barang fast fashion yang Anda beli lima tahun yang lalu."
"Tetapi Anda memiliki hubungan emosional dengan pakaian itu, yang berarti Anda menyimpannya," kata Sumner.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.