Godaan kemudian datang saat mereka mulai tergiur dengan banyaknya order di luar Txture pada 2013-2014.
Dan, Joe mengakui mereka salah mengalkulasi dalam pembuatan jasa, dan malah fokus ke produksi titipan merek orang lain, bukan Txture.
“Kami belum terlalu dewasa. Belum bijak spending money. Tahun 2013-2014, kami minus Rp 450 juta,” ucap Joe.
Setelah minus begitu banyak, mereka tersadar harus berubah. Maka langkah rebranding pun dilakukan.
Mereka mengembalikan kultur Txture yakni traditional shoe and bootmaking.
Baca juga: Sagara, Melawan Bot “Asing” di Pasar Dunia dengan Nama Lokal...
Dengan produk yang berkualitas dan desain yang menarik, mereka tidak sulit bangkit. Bahkan di tahun 2016, omzetnya sudah mampu menyentuh angka Rp 2 miliar.
Ketika mereka menikmati manisnya kerja keras, persoalan kembali datang.
Pada 2017, perajin sepatu mereka dibajak dengan iming-iming gaji yang tidak masuk akal dari kompetitor lain.
Tak tanggung, dari 10 perajin, yang tersisa hanya satu dari bagian finishing. Padahal, saat itu order sudah masuk.
“Txture itu made to order, pengerjaannya dua bulan,” ucap CEO Txture, Annisa Amalina Tamimi.
Mereka kemudian berhenti menerima order. Selanjutnya, fokus mereka adalah merekrut perajin baru, yang amat memakan waktu.
Apalagi sepatu Txture terbilang susah, sedangkan regenasi perajin sepatu di Cibaduyut kurang bagus.
View this post on Instagram
Akhirnya, Txture mencari orang yang benar-benar mau belajar dan berkomitmen. Karena itu di Texture ada beberapa perajin yang tidak memiliki basic pembuatan sepatu.
Seperti seorang ibu rumah tangga yang belajar dari nol, dan kini bertugas memegang upper.
Untuk mencegah pembajakan perajin, Txture menerapkan sistem kontrak kerja.