Dan Indonesia terkenal sebagai konsumen produk pangan industri sebagai pangan sehari-hari, belum lagi teknologi semakin memungkinkan makanan datang dengan jasa layan antar.
Padahal punya dapur itu bukan soal syarat ketika rumah dibangun. Lebih miris lagi, banyak orang di kota besar dapurnya bagus-bagus tak tersentuh.
Dan sekarang tren itu mulai diikuti generasi milenial, yang katanya tinggal di rumah kecil atau apartemen sempit, jadi cuma butuh pantry alias pojok menghangatkan makanan. Bukan lagi dapur.
Bahkan dengan irama kehidupan tunggang langgang, makan buah menjadi merepotkan dan ‘buang waktu’. Jadi, blender saja lalu teguk. Sekali lagi, hukum kodrat dilangkahi.
Makan tidak sama dengan minum. Makan dimulai dengan proses mengunyah, mengeluarkan liur untuk enzim pertama kalinya mencerna di rongga mulut, masuk ‘baik-baik’ ke dalam kerongkongan, dibersihkan dari hama oleh asam lambung, dipilah-pilah mana karbohidrat, mana protein, mana lemak, mana mineral dan vitamin – karena baik enzim pencerna dan wilayah serapnya beda. Lalu apa jadinya jika semua makanan itu diteguk dalam bentuk cair? Astaga.
Baca juga: Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi
Alam setia dengan prosedur. Alam tidak pernah melompati jalur. Kita jarang mengambil waktu sejenak bijak untuk kembali tunduk pada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dengan ketergesaan.
Sama seperti Papua untuk menjadi lebih sehat, barangkali harus kembali ke titik yang terlompati: sebelum teknologi mengambil alih.
Saat proses berjalan kaki perlu bertransformasi dengan alat transportasi darat dahulu sebelum melesat mengudara. Itu adalah salah satu analogi. Pasar Timika yang sarat sayur dan buah, serta berbagai ikan perlu kembali menarik minat.
Dengan demikian kita kembali mempunyai peradaban manusia: kehadiran ibu bukan hanya ada saat melahirkan, tapi juga saat kesabaran dituntut mulai dari memilih, meracik dan mengolah makanan yang tidak bisa diserahterimakan ke tangan industri.
Sebab kodrat hidup ini memang tidak praktis, apalagi mengandalkan efisiensi. Selama kita masih butuh air untuk mandi sehari dua kali, jangan pernah bilang merawat kehidupan itu seperti mobil canggih yang hanya perlu ganti oli setahun sekali.
Atau, infrastruktur yang kita bangun cepat itu akhirnya seperti pagar makan tanaman, apabila rakyatnya tidak siap dengan literasi menuju modernisasi.
Baca juga: Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.