Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Kompas.com - 07/04/2019, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Dan Indonesia terkenal sebagai konsumen produk pangan industri sebagai pangan sehari-hari, belum lagi teknologi semakin memungkinkan makanan datang dengan jasa layan antar.

Padahal punya dapur itu bukan soal syarat ketika rumah dibangun. Lebih miris lagi, banyak orang di kota besar dapurnya bagus-bagus tak tersentuh.

Dan sekarang tren itu mulai diikuti generasi milenial, yang katanya tinggal di rumah kecil atau apartemen sempit, jadi cuma butuh pantry alias pojok menghangatkan makanan. Bukan lagi dapur.

Bahkan dengan irama kehidupan tunggang langgang, makan buah menjadi merepotkan dan ‘buang waktu’. Jadi, blender saja lalu teguk. Sekali lagi, hukum kodrat dilangkahi.

Makan tidak sama dengan minum. Makan dimulai dengan proses mengunyah, mengeluarkan liur untuk enzim pertama kalinya mencerna di rongga mulut, masuk ‘baik-baik’ ke dalam kerongkongan, dibersihkan dari hama oleh asam lambung, dipilah-pilah mana karbohidrat, mana protein, mana lemak, mana mineral dan vitamin – karena baik enzim pencerna dan wilayah serapnya beda. Lalu apa jadinya jika semua makanan itu diteguk dalam bentuk cair? Astaga.

Baca juga: Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Alam setia dengan prosedur. Alam tidak pernah melompati jalur. Kita jarang mengambil waktu sejenak bijak untuk kembali tunduk pada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dengan ketergesaan.

Sama seperti Papua untuk menjadi lebih sehat, barangkali harus kembali ke titik yang terlompati: sebelum teknologi mengambil alih.

Saat proses berjalan kaki perlu bertransformasi dengan alat transportasi darat dahulu sebelum melesat mengudara. Itu adalah salah satu analogi. Pasar Timika yang sarat sayur dan buah, serta berbagai ikan perlu kembali menarik minat.

Dengan demikian kita kembali mempunyai peradaban manusia: kehadiran ibu bukan hanya ada saat melahirkan, tapi juga saat kesabaran dituntut mulai dari memilih, meracik dan mengolah makanan yang tidak bisa diserahterimakan ke tangan industri.

Sebab kodrat hidup ini memang tidak praktis, apalagi mengandalkan efisiensi. Selama kita masih butuh air untuk mandi sehari dua kali, jangan pernah bilang merawat kehidupan itu seperti mobil canggih yang hanya perlu ganti oli setahun sekali.

Atau, infrastruktur yang kita bangun cepat itu akhirnya seperti pagar makan tanaman, apabila rakyatnya tidak siap dengan literasi menuju modernisasi.

Baca juga: Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com