KOMPAS.com - Meski sudah berusaha menjadi orangtua yang rasional saat menghadapi ulah anak, namun terkadang ada saja kejadian yang membuat amarah kita memuncak dan berteriak.
Memarahi anak atau menegurnya dengan berteriak ternyata dilakukan 90 persen dari 1000 orangtua yang disurvei dalam penelitian yang dimuat di Journal of Marriage and Family.
Lebih dari itu, keluarga yang memiliki anak berusia di atas 7 tahun hampir 100 persennya pernah berteriak sambil marah ke anak.
“Orangtua berteriak karena mereka seolah ditarik ke segala arah dan mulai frustasi. Misalnya mereka melihat anak mereka bertengkar atau melakukan sesuatu yang dilarang,” kata Nina Howe, profesor bidang pendidikan anak usia dini.
Ia menambahkan, seringkali teriakan itu adalah respon otomatis orangtua.
Meski tujuannya adalah untuk mendisiplinkan anak, ternyata cara tersebut tak sepenuhnya efektif.
Bukan saja kita memberi contoh strategi menghadapi konflik secara buruk, tapi juga ada efek jangka panjangnya.
Baca juga: 5 Langkah Pola Asuh Mendampingi Remaja
Sebagian pakar juga menilai bahwa berteriak adalah bentuk baru dari pukulan pada bokong (spanking).
Banyak dari generasi orangtua milenal yang tumbuh dengan teriakan, omelan, dan juga pukulan orangtuanya. Sehingga terkadang itu jadi referensi dalam pola asuhnya mendisiplinkan anak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.