Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2019, 07:43 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

Sumber Parenting

KOMPAS.com - Meski sudah berusaha menjadi orangtua yang rasional saat menghadapi ulah anak, namun terkadang  ada saja kejadian yang membuat amarah kita memuncak dan berteriak.

Memarahi anak atau menegurnya dengan berteriak ternyata dilakukan 90 persen dari 1000 orangtua yang disurvei dalam penelitian yang dimuat di Journal of Marriage and Family.

Lebih dari itu, keluarga yang memiliki anak berusia di atas 7 tahun hampir 100 persennya pernah berteriak sambil marah ke anak.

“Orangtua berteriak karena mereka seolah ditarik ke segala arah dan mulai frustasi. Misalnya mereka melihat anak mereka bertengkar atau melakukan sesuatu yang dilarang,” kata Nina Howe, profesor bidang pendidikan anak usia dini.

Ia menambahkan, seringkali teriakan itu adalah respon otomatis orangtua.

Meski tujuannya adalah untuk mendisiplinkan anak, ternyata cara tersebut tak sepenuhnya efektif. 

Bukan saja kita memberi contoh strategi menghadapi konflik secara buruk, tapi juga ada efek jangka panjangnya.

 Baca juga: 5 Langkah Pola Asuh Mendampingi Remaja

IlustrasiThinkstock.com Ilustrasi
Studi tahun 2013 mengungkap, perilaku verbal yang negatif (seperti berteriak) tidak akan membuat anak usia pra-remaja dan remaja mengubah perilakunya, malah mereka akan meneruskan ulahnya tersebut.

Sebagian pakar juga menilai bahwa berteriak adalah bentuk baru dari pukulan pada bokong (spanking). 

Banyak dari generasi orangtua milenal yang tumbuh dengan teriakan, omelan, dan juga pukulan orangtuanya. Sehingga terkadang itu jadi referensi dalam pola asuhnya mendisiplinkan anak.

Yang terlambat kita sadari adalah cara tersebut membuat kita merasa buruk.

Teriakan dan omelan itu juga menakutkan anak-anak (seperti halnya dulu kita juga takut) menanti akhir dari kalimat. Membuat anak merasa cemas dan cenderung menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik.

“Anak-anak memiliki sistem saraf yang sensitif dan teriakan akan menakutkan mereka, apalagi melihat ekspresi wajah orangtua saat marah. Itu sangat agresif dan mengintimidasi,” kata konselor keluarga Elana Sures.

 Baca juga: Hai Orangtua, Mari Pahami Alasan Anak Sering Membantah

Ketika orangtua mendapatkan hasil yang diinginkan setelah meneriaki anak, itu lebih karena anak-anak takut dan ingin ayah atau ibunya berhenti berteriak.

“Itu bukan karena keputusan mereka. Jadi, kebiasaan berteriak hanya akan efektif dalam jangka pendek, tapi lama-lama anak akan mengacuhkannya,” ujarnya.

Jadi, apa yang bisa dilakukan orangtua ketika amarahnya memuncak? Pertama, ketahui apa yang memicunya. Teriakan biasanya dipicu oleh sesuatu yang spesifik, misalnya stres di kantor atau sebenarnya sedang kesal dengan pasangan. 

Memahami apa yang mendasari kemarahan akan membantu kita membuat respon atau sikap yang rasional.

Berteriak bukanlah bentuk komunikasi karena hanya membuat anak untuk diam dan bukan mendengarkan. Jadi, pertama-tama kita harus tenang dulu, lalu bicarakan pada anak kalau sikapnya tidak baik dan bagaimana yang seharusnya.

Jika anak masih terus melakukan kesalahannya, beri hukuman. Misalnya memberinya time-out. Kemudian jika ia sudah tenang sampaikan alasan mengapa ia tidak boleh mengulangi perilakunya lagi

Baca juga: Mengenali Tanda Gangguan Mental pada Anak

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Parenting
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com