Kapitalisme sempit yang katanya tidak diakui bangsa ini, tapi diam-diam diyakini sebagai spirit kehidupan sehari-hari.
Materialisme dan konsumerisme tanpa sadar menghancurkan kemampuan untuk jadi produktif, dan sebaliknya destruktif.
Tidak bangga akan diri sendiri dimulai dari rasa tidak puas akan hasil karya sendiri. Iklan kosmetik pun sampai harus menyebut ‘dengan berbahan bunga Sakura dari Jepang’, begitu pula makanan sehat kudu berorientasi salad orang kulit putih dengan biji-bijian ajaib yang justru tidak bisa dicerna usus manusia – hanya karena orang bule menyebutnya super food.
Baca juga: MPASI Rumahan Tidak Sama dengan MPASI Murahan
Saya bersyukur dibesarkan oleh ayah yang selalu menekankan ‘be the best version of you’. Itu barangkali yang membuat saya ‘ora pathekan’ (tidak sudi) nyebrang sana-sini.
Itu juga yang membuat saya berhati-hati melangkah, berpikir seratus kali sebelum menentukan saya mau jadi apa.
Memilih sekolah bukan karena favorit orang, bahkan paman saya yang tidak sengaja iseng mendaftarkan saya di sekolah menengah itu.
Waktu TK dan awal-awal SD, saya lebih suka sekolah dekat rumah, selain bisa dijangkau dengan jalan kaki, sambil pulang saya bisa ‘jajan mata’: karena sepanjang gang terdapat berderet-deret toko alat tulis.
Pilihan pendidikan lanjutan pun dasarnya karena saya kagum dengan kesempatan untuk bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang ,saat mereka justru terpuruk di saat sakit dan mampu bangkit lagi setelah sehat.
Dan setelah berinteraksi dengan begitu banyak manusia, saya semakin menemukan penderitaan dan ‘kesakitan’ yang sesungguhnya: bukan terletak di penyakit fisik, melainkan ketidak mampuan untuk menjadi ‘yang terbaik’ dari dirinya sendiri.
Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama
Seperti obrolan ringan di antara pembantu tadi. Menganggap ada yang dimiliki dan dikaryakannya tidak berharga, bahkan diandaikan pekerjaan nista. Padahal begitu banyak orang yang katanya kaya raya justru tidak berdaya saat pembantunya minggat.
Dengan berjalannya waktu, transformasi sosial mengubah makna penghargaan. Sisi kuantitas menjadi tolok ukur yang gampang dibandingkan ketimbang kualitas.
Berapa banyaknya harta menjadi lebih bermakna ketimbang bagaimana harta itu bisa didapat. Saling bersaing dengan tolok ukur yang itu-itu saja, membuat orang tidak mampu menemukan manikamnya sendiri.
Seperti sebelas pemain semuanya berebut mengejar bola yang sama, hingga mengorbankan gawang sendiri.
Penghargaan keberagaman memang masih sulit di negri ini. Sebab nasi putih masih punya supremasi tersendiri ketimbang singkong, apalagi sagu.
Perawat masih dianggap di bawah perintah dokter. Padahal dokter tidak mampu merawat, mengurus decubitus (borok akibat berbaring terlalu lama) saja belum tentu becus.
Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut