Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Kompas.com - 27/04/2019, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Pemilu yang telah berlalu menyisakan banyak cerita yang sayang dibuang, karena justru saya pikir bisa menjadi awal dari suatu titik balik.

Ini bukan perkara pemilunya atau siapa pilihan presiden paling favorit. Pun bukan soal surat suara, yang upaya melipatnya lebih lama ketimbang proses mencoblosnya di ‘bilik rahasia’.

Salah satu cerita yang paling menggelitik adalah obrolan di antara pembantu rumah tangga saat mengantre nomor panggilan di Rabu pagi yang amat terik itu.

Bermodal kartu A5 yang diupayakan para juragannya yang semangat anti golput, para asisten yang menjamin keberlangsungan hidup dapur hingga ritual bebersih rupanya punya pendapat tersendiri yang membuat saya terhenyak – dan jika diekstrapolasikan bisa jadi merupakan cara pandang sebagian besar rakyat Indonesia.

Celetukan tersebut yang aslinya berlogat Jawa, kurang lebih jika diterjemahkan bunyinya begini,”Ah, nasib pembantu dari zaman kapan sampai kapan pun tetap begini-begini saja. Mau siapa pun presidennya, mana bisa kita naik derajat,”.

Istilah derajat, jenjang status, hingga profesi idaman selalu menjadi topik hangat yang menunjukkan seberapa berhasilnya saya ‘jadi orang’.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Telusur punya telusur, bisa jadi profesi paling top dan menjadi incaran semua orang kalau bisa dan sanggup rupanya jabatan presiden! Sebab, kelihatannya tidak ada tingkat status atau pekerjaan yang membuat orang sungguh-sungguh puas dan bangga di mana dirinya berada.

Pembantu saja mengidam-idamkan jadi juragan. Yang sudah jadi juragan mi ayam mau punya restoran seafood. Yang sudah punya pabrik sabun cuci ekspansi menjadi industri pangan jadi.

Dokter tidak cukup punya klinik pribadi, lama-lama punya rumah sakit atau laboratorium lengkap dengan apotek.

Mereka semua jika punya batu loncatan pun ramai-ramai mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau malah ambil jalur eksekutif – mengurus rakyat katanya.

Pesona jabatan dan pangkat membuat semua stase atau pos pengabdian akhirnya sekadar batu loncatan yang ujung-ujungnya puncak nomer satu: jadi presiden.

Hal yang menjadi amat mungkin di zaman sekarang, pintu terang terbuka mulai dari pelawak sungguhan yang tidak tahu politik hingga pelawak politik yang lawakannya bikin panas ketimbang ngakak.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Fenomena di atas membuat orang gerah dengan apa yang dilakoninya sekarang. Pekerjaan, profesi, bukan lagi soal pencarian jati diri dan menjadi manusia ulet yang ahli dan pakar.

Proses ‘menyebrang’ adalah fenomena rasa tidak cukup yang selalu menghantui – mulai dari tidak cukup uang hingga tidak cukup puas diri.

Puas diri dianggap ungkapan pasrah ‘nrimo’ yang membuat orang tidak nampak maju.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com