Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/05/2019, 17:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


BERBOHONG merupakan perilaku tercela. Tetapi tetap saja banyak orang yang melakukannya. Banyak sebab kenapa seseorang berbohong.

Di antaranya, ingin membela diri bahwa dia seolah benar, ada kepentingan tersembunyi, menakut-nakuti, menciptakan perbenturan, ingin lepas tanggung jawab, sudah biasa berbohong.

Berbohong pada dasarnya mengingkari kenyataan yang terjadi. Berbohong sifatnya melebih-lebihkan, tetapi tidak sesuai fakta.

Berbohong juga bisa dilakukan dengan tujuan memengaruhi atau mencari simpati atau dukungan pihak lain.

Seperti halnya dalam dunia politik, berbohong menjadi bumbu penyedap. Niccolo Machiavelli (1469-1527) seorang diplomat dan politikus, mempersilakan penguasa atau politikus berbohong demi kekuasaan.

Bahkan, penguasa diperbolehkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, Machiavelli disebut tak bermoral, mengabaikan etika, pengajar kejahatan.

Kebohongan patologis

Kalau memilah kebohongan, ada yang bohong ringan ada juga yang bohong berat. Ada yang bohong spontan, ada juga yang sengaja merencanakan kebohongan. Malah ada yang suka berbohong karena kebiasaan.

Dalam psikologi ada istilah kebohongan patologis, yaitu kebiasaan bohong yang kompulsif, kronis. Kebohongan satu diikuti dengan kebohongan lainnya.

Repotnya, kebohongan yang dilakukan berulang-ulang maka lama-lama akan terbiasa. Akhirnya, bukan mustahil berubah menjadi pemakluman.

Bahasa tubuh

Alan & Barbara Pease dalam bukunya berjudul Kitab Bahasa Tubuh (2018) mengatakan bahwa jangan mengandalkan perkataan yang diucapkan karena pelaku dapat melatih kata-katanya berulang-ulang sehingga mahir dalam berbohong.

Satu-satunya petunjuk yang paling mudah dicermati adalah memperhatikan bahasa tubuh pelaku. Bahasa tubuh biasanya bergerak secara spontan karena pelaku tidak dapat mengendalikannya.

Wajah memang bagian tubuh yang paling banyak digunakan untuk menutup kebohongan. Tetapi, sikap dan emosi akan terungkap melalui wajah tanpa disadari pelaku.

Bahkan pembohong profesional pun, misalnya politikus, apabila diperhatikan bahasa tubuhnya dengan cermat akan terlihat juga ketika berbohong.

Berikut bahasa tubuh yang dapat mengungkapkan pelaku sedang berbohong (Alan & Barbara, 2018), yaitu

  1. Menutup mulut: ketika tangan menutup mulut, maka otak secara otomatis menahan kata-kata bohong yang sedang diucapkan.
  2. Menyentuh hidung: menurut penelitian hidung manusia mengembang oleh darah saat dia sedang berbohong, ini disebut “efek pinokio”.
  3. Menggosok mata: upaya otak untuk menghalangi kebohongan, keraguan, atau tidak ingin dilihat.
  4. Meraih telinga: menandakan pelaku sedang cemas.
  5. Menggaruk leher:  menandakan sinyal keraguan.
  6. Menarik leher baju: tekanan darah di leher menyebabkan terbentuknya keringat di leher.
  7. Jari di mulut: merasa tertekan dan butuh penghiburan.

Jadi, sepandai-pandainya orang berbohong, akhirnya terlihat juga melalui bahasa tubuh.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com