KOMPAS.com - Masih teringat jelas momen ketika Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, berlibur bersama keluarganya di Bali tahun 2017 lalu.
Saat itu, salah satu tempat yang dikunjunginya adalah Agung Rai Museum of Art (ARMA) di Ubud.
Jika berkesempatan mengunjungi ARMA, kamu mungkin akan menyadari bahwa tempat ini lebih dari sekadar museum.
ARMA diresmikan 9 Juni 1996 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro.
Memasuki area museum lewat gerbang barat, kita akan disambut oleh hawa sejuk, berkat tanaman-tanaman rindang yang mengisi setiap museum.
Setelah melangkah masuk, kita akan menemukan panggung terbuka yang biasa digunakan untuk pertunjukan seni.
Baca juga: Museum Trinil Ngawi Teliti Fosil Kaki Gajah Purba yang Ditemukan Warga
Gedung-gedung yang ada di area museum didesain dengan gaya arsitektur tradisional Bali dengan dominasi material lokal.
Dua gedung utamanya, Bale Daja, seluas 3.300 meter persegi, dan Bale Dauh seluas 1.200 meter persegi, berdiri kokoh di tengah pepohonan, air mancur, dan kolam serta landskap sawah.
Pemandangan ini membawa suasana alam yang kian kental.
ARMA bukan hanya sebuah museum, melainkan pusat seni dan pertunjukan.
Pengunjung bisa menikmati berbagai hal terkait seni, mulai dari koleksi lukisan permanen, pameran, pertunjukan teater, tari, kelas musik dan melukis.
Juga ada ruang baca, lokakarya budaya, seminar, hingga program pelatihan.
Tujuan itu ditegaskan lewat konsep museum yang terintegrasi. Sehingga ARMA tidak hanya memamerkan karya buatan manusia, tetapi juga menyelipkan unsur-unsur alam serta pendidikan.
Misalnya, dengan menyertakan sawah di dalam lingkungan museum agar anak-anak tahu bagaimana nasi yang mereka makan diproduksi.