Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

Kompas.com - 25/06/2019, 10:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Dokter yang sama bisa bersaing antara praktek pagi di puskesmasnya dan praktek pribadinya di sore hari.

Terlanjur mendapat label ‘obat generik kurang manjur’, ada pasien yang lebih suka berpindah ke praktik swasta dokter yang sama – karena diberi obat ‘paten’. Tentu dengan imbalan lebih mahal.

Di kota besar apalagi seperti di Jakarta, bagi yang punya uang, menyelonong langsung ke layanan spesialis sudah biasa. Bahkan spesialis dan dokter umum dianggap beda kasta.

Sampai-sampai ada spanduk di salah satu rumah sakit yang sedang promosi vaksinasi: jika vaksinasi dilayani dokter umum, harganya jauh lebih murah ketimbang vaksinasi dengan dokter spesialis. Saya sampai melongo. Buat apa juga, urusan vaksinasi dibuat seribet itu?

Kita harus belajar lebih banyak dari negara maju yang sistem layanan kesehatannya sudah lebih tertata baik, termasuk standardisasi kualitas kompetensi.

Berobat ke dokter umum justru mempunyai keuntungan banyak. Pertama, mereka terlatih melihat masalah kesehatan dari kacamata yang lebih luas, jadi pasien tidak terjerumus dengan diagnosa yang dibuatnya sendiri dan mencari spesialis yang dipikirnya cocok – padahal salah.

Kedua, dokter umum memiliki kemampuan yang mumpuni dalam merumuskan masalah, menyaring pemeriksaan, bahkan cara pemeriksaan fisik serta teknik wawancara pasien lebih luas, sama sekali beda dengan cara awam mencari tahu atau mencocok-cocokkan penyakitnya dengan laman mesin pencari di internet.

Ketiga, dokter umum berhak melakukan pengobatan sebatas bukan tindakan spesialistik. Saya menemukan banyak dokter umum yang begitu ahli dan terampil melakukan insisi abses/ bisul besar dengan rapi dan teliti.

Atau juga mengobati berbagai kasus TBC dengan komitmen lebih dari pasiennya, mengedukasi pasien-pasien diabetes dan hipertensi untuk mengatur diet dan gaya hidup – sehingga pemakaian obat menjadi amat minimal, beda jauh dengan beberapa spesialis yang ‘royal’ obat satu plastik termasuk semua efek sampingnya.

Keempat, walaupun istilah ‘dokter keluarga’ sudah punya aturan kompetensi tersendiri, tapi tak jarang dokter umum menjadi kesayangan keluarga yang penyakitnya macam-macam.

Dari ayah yang menderita hipertensi, ibu yang punya masalah pencernaan, si gadis yang punya eksim karena stres, si bungsu yang sering sulit buang air karena tidak suka makan sayur dan buah.

Barulah rujukan ke spesialis dibutuhkan apabila memang ada tindakan khusus atau penanganan tertentu di luar kewenangan dokter umum.

Itu pun setelah tugas spesialis selesai, maka pasien dikembalikan dengan rujukan balik ke tangan dokter umum yang menangani pertama kali. Begitulah etika yang ‘seharusnya’.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

Saya kerap membandingkan layanan kesehatan dengan layanan pendidikan – yang semestinya sama-sama tidak boleh berpihak pada kepentingan apa pun. Karena kedua hal itu adalah hak setiap warganegara untuk membangun suatu bangsa maju.

Boleh ekonomi berantakan atau tanah air dihajar bencana alam berulang kali, namun jika literasi, edukasi dan kesehatan mumpuni, bersama-sama kita bisa maju kembali – tanpa ada ribut-ribut dan sabotase sana-sini.

Pendidikan membuat manusia jelas dengan tujuan hidupnya, mampu berpikir logis untuk mendapatkan tujuan-tujuan tersebut dengan cara yang baik dan benar, ditopang literasi kesehatan yang tidak membebani biaya berobat, melainkan mampu menjaga diri dan mencegah penyakit sebelum datang.

Tapi sayang sekali kedua layanan penting hak warganegara itu selalu diwarnai ‘embel-embel’. Sehingga punya kualitas berjenjang. Kompetisi mengalahkan kompetensi.

Mengagungkan fasilitas kesehatan yang bersaing dengan tersedianya alat-alat kesehatan canggih, tanpa kualitas sumber daya manusia di baliknya yang mampu mencegah stunting dan penyakit tidak menular akhirnya sama seperti pilihan sekolah favorit yang ruang-ruang kelasnya menggunakan pendingin, lab komputernya mewah, tapi guru-gurunya masih merokok, siswanya berlomba pamer motor dan seragamnya keren ‘seperti sekolah luar negri’.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com