Seandainya potret muram tersebut berubah menjadi gambar yang semarak, maka rumah sakit bagus dengan dokter berkualitas kelas dunia karena digaji mahal, hanya ada untuk mereka yang berduit – sama seperti sekolah swasta peraih NEM tertinggi dan siswanya juara olimpiade hanya bisa dijangkau oleh orang yang beruang banyak.
Padahal, idealnya kesehatan dan pendidikan itu tidak boleh ada perbedaan kualitas kompetensi dan integritas para penyelenggaranya.
Ibaratnya pengobatan penyakit tifus di kelas VIP maupun bangsal mempunyai standar operasional prosedural yang sama, dengan obat-obatan yang sama. Yang membedakan sehingga ongkos berobat tidak sama hanyalah perkara fasilitas kenyamanan.
Ada kelas yang pakai piring keramik dan kamar mandi pribadi, sementara kelas yang lain menggunakan piring aluminium dan kamar mandi yang dipakai bersama.
Hal-hal di atas akhirnya menjadi perancu opini publik tentang kualitas pendidikan dan layanan kesehatan.
Sekalipun kita punya peraturan menteri kesehatan (Permenkes) nomor 43 tahun 2016 tentang standar pelayanan kesehatan minimal bidang kesehatan, faktanya jika secara jujur kita pantau di tiap fasilitas kesehatan, tidak semuanya menerapkan seratus persen seperti apa yang diminta permenkes.
Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama
Sebut saja tentang promosi susu formula. Padahal ASI ekslusif dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012.
Tidak semua fasilitas kesehatan yang melayani persalinan mempunyai tenaga konselor menyusui apalagi fasilitator pemberian makan bayi dan anak.
Padahal pada manusia, proses menyusui dan memberi makan anak membutuhkan pembelajaran, tidak bisa diandaikan keterampilan instinktual. Tidak jarang ibu-ibu mendapat kendala dalam fase penting masa tumbuh kembang bayi ini.
Kecepatan melatih konselor jauh lebih lambat dari kecepatan iklan susu dan bubuk lainnya yang dianggap makanan bayi. Sementara dokter, bukanlah tenaga kesehatan yang ‘tahu segalanya’. Apalagi, otomatis tahu tentang masalah menyusui. Sama sekali tidak.
Orang sakit bebannya selangit kerap kali bukan karena penyakitnya, melainkan karena aspek preventif dan promotif yang tidak berjalan baik dalam layanan kesehatan. Sehingga ,penyakit dan masalahnya menjadi lebih kompleks.
Juga karena sistem pelayanan itu sendiri yang carut marut, lintas kompetensi yang tidak taat prosedural, ditambah lagi opini dan tuntutan publik yang minim pemahaman dan akhirnya merugikan diri sendiri dan justru membuka peluang bagi para oportunis yang mendulang uang.
Baca juga: “Germas” Masih Tahap Marketing: Menanti Disrupsi Terjadi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.