Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Kompas.com - 06/07/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Saat dunia dikagetkan oleh studi yang menyudutkan kemasan tadi dengan istilah ‘makanan ultra proses’, tentu ada yang menjerit.

Anehnya, jeritan itu bukan berasal dari konsumen yang merasa bersalah telah mencekoki tubuhnya dengan barang-barang pabrik, melainkan jeritan terdengar dari yang bisnisnya terancam.

Saat akademisi dan pakar mempunyai kolaborasi yang tidak sehat dengan pelaku industri, alih-alih hasil studi dijadikan acuan untuk menata ulang kedaulatan, ketahanan dan keamanan pangan rakyat, malah ikut mengusung spanduk pembelaan.

Padahal, jika mau jujur, keamanan pangan bukanlah semata-mata karena pembuatannya higienis dan bebas hama.

Susu formula bisa saja steril saat di kaleng, tapi begitu dilarutkan dengan air sembarangan dan botol jorok, istilah keamanan menjadi sirna.

Begitu pula jika tangan kotor mencomot keripik kemasan. Industri pun lepas tangan. Yang dituding tentunya pelaku promosi kesehatan yang tidak becus.

Keamanan pangan itu dijamin saat edukasi dan literasi publik terjaga. Sehingga kata ‘aman’ menjadi lebih luas: bukan soal kontaminasi bakteri lagi. Melainkan daftar komposisi dan label yang tidak lagi sekadar hiasan di kemasannya.

Publik berani menolak dan tidak membeli yang berisi gula lebih, masih diolah dengan ‘minyak sayur terhidrogenasi’ (sebab pasti ditulis begitu, bukan terang-terangan ‘trans fat’), apalagi yang diimbuhi garam industri.

Dan bukti keamanan pangan industri menjadi kian sumir manakala ada ‘perbedaan kasta’ (baca: bahan pengisi) produk untuk konsumsi lokal dan konsumsi ekspor. Pasti ada yang tidak diizinkan di luar sana, tapi di sini masih diasup sepanjang badan belum berontak.

Sayangnya, saat ini publik kita masih parno sebatas pengawet dan pewarna. Maka itulah yang dihidangkan industri. Tanpa pengawet ‘kimiawi’ memang, tapi gula atau garamnya ditambah. Agar awet. Bukankah gula dan garam itu sendiri adalah pengawet yang paling kuno?

Baca juga: Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi

Dan publik tidak paham bahayanya. Sama seperti istilah ‘perisa identik’ – yang tak lain dan tak bukan adalah bahan kimia dengan struktur senyawa yang dirancang sedemikian rupa, dengan apa yang ingin disamakan.

Mata konsumen hanya membaca nama buah yang ada di tulisan selanjutnya. Alhasil perisa identik anggur dikira ada anggurnya yang dibuat jus dalam botol yang mereka beli. Miris.

Tidak ada maksud menempatkan pangan industri ke sudut terpencil yang hanya ada di planet sebelah. Tak dapat dipungkiri, kebutuhan hidup 

manusia begitu kompleks. Tapi tentu semua ada koridornya. Ada hal-hal kodrati yang tidak bisa dilanggar apalagi dinihilkan.

Bagi saya, wajar saja swalayan menjual makanan kemasan. Sama wajarnya seperti anak muda menyukai minuman kaleng.

Tapi menjadi tidak wajar jika lebih dari separuh kereta dorong konsumen di swalayan isinya makanan ultra proses.

Lebih tidak wajar lagi jika riset kesehatan dasar 2018 menyebut 95.9% rakyat kita kurang makan sayur dan buah. Dan sangat memalukan seandainya bayi-bayi stunting berayahkan nelayan atau petani yang hasil panennya membanggakan.

Jika edukasi dan literasi sungguh-sungguh memadai, maka akan semakin sedikit medikalisasi manusianya. Kita beralih jadi negara yang sungguh-sungguh maju: ke dokter bukan cari obat, tapi cari ilmu buat hidup lebih sehat.

Dibutuhkan niat baik dari semua pihak, dibutuhkan kesetiakawanan nasional yang lebih dari sekadar jargon kosong, dibutuhkan kerendah-hatian dari yang sudah tinggi ekonominya untuk sedikit menahan diri dan sebaliknya bisa berbuat lebih.

Akhirnya, juga dibutuhkan kacamata jeli untuk bisa melihat panen ‘turah’ buat yang serakah.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com