Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Kompas.com - 06/07/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Bukan rahasia umum, jika di negri kita tercinta ini menjadi pasien rasanya sengsara sekali. Bukan hanya biaya dan waktu yang banyak harus disediakan, tapi juga kesabaran tingkat tinggi untuk mencerna informasi dari tenaga kesehatan yang tidak pandai berkomunikasi.

Bahkan, antar satu dokter dengan dokter yang lain nasihatnya bisa berseberangan. Belum lagi jika diantaranya ada ahli gizi yang bukan dokter, tapi sudah berpengalaman puluhan tahun menghitung kalori makanan dari dapur rumah sakit.

Cukup banyak pasien yang berpandangan kritis mulai melontarkan pertanyaan begini,”Dok, kok saya belum pernah lihat ya, di Indonesia ini ada rumah sakit yang menyajikan beras merah? Malahan di VIP pasien ditawari makanan versi hotel...”.

Justru yang tersaji malah nasi kuning dengan telur dadar, semur ayam berkecap, bubur sumsum super manis, serta tak ketinggalan sayur yang selalu ditumis. Oh ya, belum lagi puding lengkap dengan fla dan jus buah kemasan. Bukan buah asli.

Belum lama, ada lagi pasien yang sudah gagal ginjal kronik dan dipasangi alat pencuci darah – ngomel panjang lebar, karena saat dirawat ia mendapat makanan yang justru dilarang spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensinya.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

Ahli gizi hanya menjawab singkat, ”Bu, pokoknya ini sudah dihitung semua kebutuhan kalorinya ya. Nanti jika masih ada keluhan misalnya tensinya naik atau gula darahnya, pasti obat akan disesuaikan lagi,”. Dan pasien serta keluarganya makin melongo.

Kebingungan seperti ini di tanah air kita tidak pernah terakomodasi, ingin mengadu ke siapa dan siapa yang harus dituruti nasihatnya. Mau komentar, mau mengoreksi, takut salah lagi – dikira mengkriminalisasi profesi cerdik pandai.

Belum lama ada berita yang lagi-lagi menampilkan anak obesitas berat di atas seratus kilo. Baru periksa tekanan darah, tenaga kesehatan sudah buru-buru mengatakan “Anak ibu sehat, walaupun ini masih temuan sementara ya,”.

Nah, jika yang diperiksa baru sebatas tekanan darah, untuk apa diberi iming-iming kata sehat yang membesarkan hati itu? Sang orangtua jadinya dengan semringah berkabar ke semua penjuru bahwa anaknya walaupun ‘gemuk banget’ tapi ‘sehat’.

Dan tebak dampaknya ke si anak? Dia pasti ngamuk jika disuruh tes ini itu, apalagi yang harus menggunakan teknik invasif alias pengambilan darah. Mana ada orang sehat masih harus ‘disuntik’?

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

 

Tidak jarang pula kita dengar kisah yang tak kalah memilukannya, kali ini kebalikan dari berat badan berlebih: anak dengan tulang berbalut kulit, terbaring tanpa daya, kejang kaku setiap saat. Sekali lagi, orangtua mengharap belas kasihan pemerintah dan semua orang yang menjenguk untuk biaya berobat.

Padahal, kondisi anak ini yang dikenal dengan istilah ‘cerebral palsy’ adalah gejala sisa yang tidak bisa kembali seperti sedia kala akibat infeksi virus pada otak, encephalitis.

Orangtua masih mengandaikan ada obatnya, agar si anak suatu saat bisa berlari-lari ke sekolah seperti teman-teman sebaya.

Uang semakin habis, karena semakin banyak orang menawarkan pil ajaib dan tongkat mujarab.

Saat dana benar-benar ludes dan kebutuhan hidup semakin mencekik, kondisi mengenaskan si anak tak jarang berujung sebagai manipulasi menghimpun sumbangan atas nama kasihan.

Bukan untuk rehabilitasi si anak lagi, melainkan untuk kelangsungan hidup orangtua dan anak-anaknya yang lain.

Baca juga: Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Memang tidak mudah untuk menjelaskan bahasa kesehatan yang njlimet itu ke awam. Bukan pekerjaan ringan pula, untuk menerangkan bahwa radang otak yang sudah menjadi cacat otak menetap itu tidak bisa diapa-apakan dan obat yang diminum bukanlah untuk kesembuhan, melainkan agar kejangnya tidak bertambah parah dan fatal. Itu saja.

Pun tidak banyak ahli gizi yang sabar bisa menjelaskan tentang kebutuhan kuantitas dan kualitas makanan.

Akhirnya hanya muncul daftar bahan makanan mana yang boleh dan mana yang tidak. Pasien dituntut sebatas patuh, bukan paham.

Di sisi lain, pasien yang tidak puas dengan penjelasan setengah-setengah itu, akhirnya mencaritahu sendiri.

Laman internet bernama Google menjadi ensiklopedia semua urusan di zaman seperti sekarang. Dan dalam waktu singkat, pasien merasa lebih pintar dari dokter yang kurang pintar bicara.

Saat konfrontasi di kamar praktik terjadi, apabila dokter semakin gagap dan pasien kian garang, akhirnya tujuan konsultasi malah gagal.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

 

Sang pasien lebih memilih ‘ahli lain’ yang saat ini buka lapak dengan istilah ‘terapi’. Entah terapi apa.

Dari yang berjualan ramuan sapu jagat, menggunakan teknologi listrik hingga laser, sampai yang begitu ‘natural’nya cuma mengandalkan air dan tepuk-tepuk ‘titik akupunktur’. Testimoni melimpah bak kesaksian mukjizat.

Pertanyaan menarik: sebetulnya, siapakah yang paling bertanggung jawab untuk masalah edukasi dan literasi publik ini? Apakah memang sengaja dibiarkan agar masing-masing mencari tahu sendiri, seperti mendapat pencerahan pribadi? Atau memang ada rencana terstruktur, sistemik dan masif supaya mereka yang berjualan atas nama ketidaktahuan publik akan terus aman menuai untung?

Hingga kini, salah satu contoh, masih saja terdengar penzaliman sayur hijau. Sayur yang Tuhan ciptakan itu oleh banyak dokter yang tidak paham gizi menjadi haram bagi penderita gagal ginjal.

Padahal, yang namanya sayur dengan kalium tinggi hanya beberapa saja – sebutlah yang berwarna hijau gelap, seperti brokoli, daun singkong, kailan, daun pepaya, dan kale.

Sementara di luar sana ada ratusan sayur aman rendah kalium, mulai dari selada, kembang kol, tauge, daun seledri, terong, labu, tomat, ketimun, kol, sawi putih, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Betapa kasihannya rakyat kita, dengan bumi yang begini kaya, akhirnya terpaksa makan yang justru badannya tidak butuh.

Konspirasi yang tidak sehat antara tenaga kesehatan yang minim pemahaman gizi dengan teknokrat industri pangan menjadikan manusia terasing dengan dirinya dan alam kodratnya.

Petani mendapat dukungan dari pelaku modal selama hasil panennya bisa dibeli oleh pemilik industri – bahkan jauh sebelum panen sudah diiming-imingi keuntungan finansial.

Hasil panen bukannya dimakan langsung, melainkan lewat mesin pabrik dijadikan barang baru bernama pangan kemasan, dengan jargon lebih murah, lebih aman bebas kuman dan ‘menolong kebutuhan pangan umat manusia’.

Petani menghasilkan singkong, tapi singkongnya dibeli industri (yang berdalih singkong tidak termakan) – begitu uang di tangan, sang petani merasa naik kasta bisa beli burger dan keripik singkong kemasan buat cemilan.

Ia pun makin bangga berfoto ria menunjukkan singkongnya sekarang ‘naik kelas’ bernama cassava chips, dengan kemasan warna-warni.

Pasti ada yang salah dengan istilah food waste, alias pangan bersisa. Bisa jadi karena rakyatnya tidak makan.

Mengapa? Tidak punya edukasi dan literasi pangan. Bahwa mereka harus bangga dengan apa yang mereka tanam dengan keringat dan kesabaran.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

 

Saat dunia dikagetkan oleh studi yang menyudutkan kemasan tadi dengan istilah ‘makanan ultra proses’, tentu ada yang menjerit.

Anehnya, jeritan itu bukan berasal dari konsumen yang merasa bersalah telah mencekoki tubuhnya dengan barang-barang pabrik, melainkan jeritan terdengar dari yang bisnisnya terancam.

Saat akademisi dan pakar mempunyai kolaborasi yang tidak sehat dengan pelaku industri, alih-alih hasil studi dijadikan acuan untuk menata ulang kedaulatan, ketahanan dan keamanan pangan rakyat, malah ikut mengusung spanduk pembelaan.

Padahal, jika mau jujur, keamanan pangan bukanlah semata-mata karena pembuatannya higienis dan bebas hama.

Susu formula bisa saja steril saat di kaleng, tapi begitu dilarutkan dengan air sembarangan dan botol jorok, istilah keamanan menjadi sirna.

Begitu pula jika tangan kotor mencomot keripik kemasan. Industri pun lepas tangan. Yang dituding tentunya pelaku promosi kesehatan yang tidak becus.

Keamanan pangan itu dijamin saat edukasi dan literasi publik terjaga. Sehingga kata ‘aman’ menjadi lebih luas: bukan soal kontaminasi bakteri lagi. Melainkan daftar komposisi dan label yang tidak lagi sekadar hiasan di kemasannya.

Publik berani menolak dan tidak membeli yang berisi gula lebih, masih diolah dengan ‘minyak sayur terhidrogenasi’ (sebab pasti ditulis begitu, bukan terang-terangan ‘trans fat’), apalagi yang diimbuhi garam industri.

Dan bukti keamanan pangan industri menjadi kian sumir manakala ada ‘perbedaan kasta’ (baca: bahan pengisi) produk untuk konsumsi lokal dan konsumsi ekspor. Pasti ada yang tidak diizinkan di luar sana, tapi di sini masih diasup sepanjang badan belum berontak.

Sayangnya, saat ini publik kita masih parno sebatas pengawet dan pewarna. Maka itulah yang dihidangkan industri. Tanpa pengawet ‘kimiawi’ memang, tapi gula atau garamnya ditambah. Agar awet. Bukankah gula dan garam itu sendiri adalah pengawet yang paling kuno?

Baca juga: Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi

Dan publik tidak paham bahayanya. Sama seperti istilah ‘perisa identik’ – yang tak lain dan tak bukan adalah bahan kimia dengan struktur senyawa yang dirancang sedemikian rupa, dengan apa yang ingin disamakan.

Mata konsumen hanya membaca nama buah yang ada di tulisan selanjutnya. Alhasil perisa identik anggur dikira ada anggurnya yang dibuat jus dalam botol yang mereka beli. Miris.

Tidak ada maksud menempatkan pangan industri ke sudut terpencil yang hanya ada di planet sebelah. Tak dapat dipungkiri, kebutuhan hidup 

manusia begitu kompleks. Tapi tentu semua ada koridornya. Ada hal-hal kodrati yang tidak bisa dilanggar apalagi dinihilkan.

Bagi saya, wajar saja swalayan menjual makanan kemasan. Sama wajarnya seperti anak muda menyukai minuman kaleng.

Tapi menjadi tidak wajar jika lebih dari separuh kereta dorong konsumen di swalayan isinya makanan ultra proses.

Lebih tidak wajar lagi jika riset kesehatan dasar 2018 menyebut 95.9% rakyat kita kurang makan sayur dan buah. Dan sangat memalukan seandainya bayi-bayi stunting berayahkan nelayan atau petani yang hasil panennya membanggakan.

Jika edukasi dan literasi sungguh-sungguh memadai, maka akan semakin sedikit medikalisasi manusianya. Kita beralih jadi negara yang sungguh-sungguh maju: ke dokter bukan cari obat, tapi cari ilmu buat hidup lebih sehat.

Dibutuhkan niat baik dari semua pihak, dibutuhkan kesetiakawanan nasional yang lebih dari sekadar jargon kosong, dibutuhkan kerendah-hatian dari yang sudah tinggi ekonominya untuk sedikit menahan diri dan sebaliknya bisa berbuat lebih.

Akhirnya, juga dibutuhkan kacamata jeli untuk bisa melihat panen ‘turah’ buat yang serakah.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com