Hanya saja, untuk seseorang menjadi gemuk (sama seperti karsinogen potensial dalam bahan makanan) dibutuhkan hitungan bulan dan tahun.
Setelah menggemuk pun, dibutuhkan sekian bulan dan tahun lagi saat insulin-like growth factor (IGF) berkontribusi dalam setiap tahap perubahan sel untuk menjadi ganas: mulai dari perubahan struktur, perbanyakan, invasi lokal, penyebaran ke organ jauh, hingga kekebalan terhadap pengobatan.
Dan selama perjalanan sekian tahun itu, semua kontributor penyebab kanker saling tumpang tindih, sehingga tak ada satu dokter pun bisa menuding siapa biang kerok penyebab utamanya.
Saya pernah mengutip suatu kisah perumpamaan tentang seekor kodok yang direbus pelan-pelan di atas api, dalam panci yang suhu awal airnya sama seperti air kolam.
Hal ini menjelaskan tentang bagaimana manusia melakukan adaptasi dan mengadopsi ‘normalitas yang baru’ begitu hampir tidak kentara setiap perubahan yang dilalui, sampai akhirnya suatu kondisi mengenaskan terjadi dan itu dianggap hal biasa.
Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan
Mendengar keluarga yang serangan jantung lalu pembuluh darah koronernya dipasang alat berbentuk cincin, saat saya masih kecil kedengarannya horor sekali. Sekarang? Umur 30-40 tahunan, sudah dianggap hal biasa, seperti tindik telinga.
Antri berderet di rumah sakit, bahkan dokter yang mengerjakannya bisa begitu luwes, fasih, seperti menyetir mobil otomatis tanpa perlu mengurutkan kembali bagaimana caranya pindah gigi persneling.
Setelah selesai dengan prosedur ‘pembenahan tubuh’, jika ditanya pasiennya harus bagaimana menata hidup selanjutnya, banyak dokter enteng menjawab, ”Ah ya enggak usah gimana-gimana. Makan biasa aja... kita hidup harus fun dong ya,...”
Lebih gawat lagi jika pakar kanker yang ditanya. Mereka selalu menganjurkan pasiennya makan lebih banyak. Biar kuat. Apa saja boleh dimakan.
Saya kerap minder mendengar omongan mereka. Seakan-akan para pakar ini kok tahu banyak soal makanan. Terutama makanan yang enak-enak, katanya. Agar jika mual saat dikemoterapi tetap bisa makan. Apa saja. Rasanya mau tepok jidat.
Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut
Beberapa pasien yang datang minta pendapat ke saya dengan muka memelas bertanya,”Dok, serius nih, saya tetap bisa makan gorengan, mi instan, ngopi, bahkan makan sate dan bistik?”
Susah sekali menjawabnya. Karena itu saya tidak akan menjawab langsung, takut dimarahi sejawat yang pakar tadi.
Biasanya pasien saya dudukkan dalam kelas, dan kelas ini membahas banyak soal kebiasaan, tubuhnya butuh apa dan kecanduannya teriak apa – sehingga muncul orkestrasi yang diam-diam membuat tubuh manusia seperti kodok dalam panci berisi air dan dipanaskan perlahan-lahan.
Dengan kulit sudah merah melepuh, bagi si kodok untuk melompat keluar dari pancinya tidak akan mampu lagi. It is just too late.
Betul, tidak semua pakar akan mengizinkan pasiennya makan semaunya dan seketemunya. Tapi itu pun masih dengan bahasa yang amat sumir.
“Boleh, jangan banyak-banyak ya. Sesekali tidak apa-apa”. Batasan tidak banyak dan sesekal, bisa jadi tidak jelas juga untuk sang pakar. Apalagi buat pasiennya.
Baca juga: “Germas” Masih Tahap Marketing: Menanti Disrupsi Terjadi