Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/07/2019, 10:50 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keragaman suku dan budaya membuat Indonesia memiliki berbagai jenis busana daerah yang indah. Walau begitu, busana tersebut hanya dipakai pada waktu-waktu khusus saja.

"Sejauh ini yang saya tahu, banyak ibu-ibu suka berkebaya. Lalu anak-anak lulus SD, SMP, SMA, wisuda berkebaya. Kenapa enggak diangkat itu sebagai identitas?" ungkap Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia, Rahmi Hidayati.

Dalam sebuah acara diskusi bertajuk Indonesia Berkebaya (16/7/2019), Rahmi mewakili para perempuan berkebaya lainnya yang tergabung dalam berbagai komunitas pegiat kebaya mengungkapkan keinginan agar gerakan berkebaya menjadi sebuah gerakan nasional.

Baca juga: Mereka Mengampanyekan Kebaya Untuk Aktivitas Sehari-hari...

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid, Dosen FPTK UPI Dr. Suciati, S.Pd, M.DS, Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia Rahmi Hidayati, Moderator Dosen FIB UI Woro Mastuti, dan desainer busana Indonesia Musa Widyatmodjo dalam acara diskusi Indonesia Berkebaya di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid, Dosen FPTK UPI Dr. Suciati, S.Pd, M.DS, Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia Rahmi Hidayati, Moderator Dosen FIB UI Woro Mastuti, dan desainer busana Indonesia Musa Widyatmodjo dalam acara diskusi Indonesia Berkebaya di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019).
Lebih jauh, mereka ingin suatu saat kebaya bisa terdaftar sebagai warisan budaya di Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). 

Sebagai salah satu upaya menuju tujuan tersebut, belum lama ini Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia juga menginisiasi gerakan Selasa Berkebaya, dimana para perempuan mengenakan kebaya ketika beraktivitas seharian penuh.

Pemilihan hari Selasa sebetulnya didasari oleh alasan sederhana. Menurut Rahmi, kata "Selasa" dan "berkebaya" punya rima yang sama sehingga lebih enak didengar.

"Jadi sekarang kami perkenalkan dulu, bikin gerakan dari Sabang sampai Merauke dengan Selasa Berkebaya. Setelah itu kelihatan bahwa kebaya diterima atau tidak di Indonesia," tuturnya.

Hari nasional berbusana daerah

Wacana hari nasional berkebaya pun menjadi pembahasan yang meluas. Muncul pemikiran bahwa sebaiknya hari nasional tersebut tak hanya melibatkan perempuan, tapi juga laki-laki.

Acara diskusi juga dihadiri Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid, desainer busana Indonesia Musa Widyatmodjo serta sejumlah akademisi budaya.

Kemendikbud menyambut baik keinginan tersebut dan akan menindaklanjuti perwakilan komunitas untuk bertemu Mendikbud Muhadjir Effendy.

"Segera saya komunikasikan dengan pak menteri. Tentu tidak dalam perintah, tapi imbauan paling tidak dalam kegiatan resmi bisa menggunakan busana nasional. Implementasi bergantung arahan pimpinan," kata Hilmar.

Baca juga: Kisah Rahmi Hidayati, Gemar Naik Gunung Pakai Kebaya

Agenda nasional menggunakan busana daerah juga bisa di bawa ke lingkungan sekolah, misalnya dijadikan aturan menggunakan busana daerah atau dimasukkan ke dalam pelajaran.

Namun, Hilmar menilai perlu ada pengenalan lebih mendalam mengenai busana daerah di masing-masing daerah. Misalnya, menggunakan media YouTube untuk menyebarkan cara memakai kain daerah.

Sehingga, nantinya masyarakat bisa dibebaskan memilih busana daerah manapun dan bisa mengenakannya dengan benar.

"Jadi yang langsung konkret bisa saya pastikan adalah memastikan baju-baju utama dari setiap daerah ada video cara menggunakannya bagaimana," kata dia.

Nah bagaimana denganmu, setuju jika ada hari nasional berbusana daerah?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com