Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Kompas.com - 11/08/2019, 10:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Padamnya Jakarta dan sekitarnya dari aliran listrik selama lebih dari enam jam beberapa waktu lalu, menampilkan wajah masyarakat dari sudut pandang yang jauh berbeda, dibanding saat hidup tertopang teknologi gemerlap, berpendar tanpa lelap.

Barangkali itu saat manusia dihentak untuk kembali melihat apa yang sungguh-sungguh dimilikinya dan kemampuan survival hakiki tanpa dongkrak teknologi.

Dipaksa mengaca, bahkan merefleksi diri di tengah gelap, untuk bisa menghargai terang dan matahari, memberi jarak dengan kebisingan yang memberi suara karena digunakan sebagai sarana, mulai dari radio dan televisi yang biasanya terus menyala.

Antara miris dan rasa ingin tertawa, saya membaca riuhnya keluhan generasi yang tidak paham menanak nasi ‘versi manual’.

Begitu pula tak habis rasa heran saya saat mendengar kabar artis dan orang-orang berduit pindah ramai-ramai ke hotel.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Demi udara dingin, nyala lampu, dan colok listrik untuk membuat semua perangkat digital mereka tetap hidup.

Bisa terbayang berapa uang terbuang untuk mempertahankan ‘kenyamanan’ model itu.

Di sisi lain, dalam kolom komentar berita hedonisme sekejap itu, muncul keresahan kelompok yang menamakan diri ‘missqueen’ (dilafalkan ‘miskin’) dan cukup bergantung dengan kipas angin mini di depan wajah yang mengandalkan daya baterai.

Ingatan saya kembali melayang ke zaman saat saya getol mengikuti berita seputar kerajaan Inggris yang saat itu diramaikan kisah-kasih romansa putri Diana.

Yang saya amati justru kehidupan sang ratu Inggris Raya. Betapa menakjubkan biaya yang dikeluarkan kerajaan demi layanan super premium yang melibatkan penata rambut, asisten pribadi, juru masak hingga pembantu khusus yang memilihkan baju, sepatu, hingga pakaian dalam sang ratu.

Disebutkan bahwa ratu akan mati kutu jika semua layanan itu tiba-tiba berhenti. Dalam hati saya, akankah dia menangis melihat isi lemari dan bingung mau pakai baju apa dan bagaimana cara mengancingkan bajunya?

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

Yang saya ingin diskusikan sebenarnya adalah tentang ketergantungan dan pemberdayaan. Dua kata yang mempunyai makna sama sekali bertolak belakang.

“Menikmati hidup” kebablasan yang menciptakan kemalasan sungguh-sungguh mematikan survival mode manusia.

Saat semuanya ambruk bagai efek domino, hanya manusia-manusia yang masih sadar memberikan makna dalam kehidupannyalah yang akan bertahan – bahkan menemukan kebahagiaan sejatinya.

Dari beberapa ‘kisah inspiratif’ saat mati listrik itu, ada ibu milenial yang akhirnya belajar menanak nasi dengan cara meliwet. Dan hasilnya ternyata lebih enak, bahkan bisa diperkaya dengan memasukkan teri, bawang, petai, hingga irisan daun jeruk.

Begitu pula ada pasangan muda yang biasanya sibuk dengan ponsel dan laptop masing-masing sebelum tidur, akhirnya bisa mengobrol lebih mendalam tentang sisi kehidupan dan rencana ke depan.

Ventilasi rumah dirasa berharga, saat mesin pendingin bernama AC tinggal seonggok besi tanpa fungsi.

Baca juga: Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Rumah-rumah indah berperabot mewah tanpa jendela yang penempatannya diatur untuk sirkulasi udara yang benar, akhirnya cuma seperti sel mahal penuh penderitaan.

Itu yang membedakan arsitek dengan desainer interior – yang masing-masing punya sisi kepakaran khusus.

Runtuhnya keperkasaan teknologi listrik membuat kita perlu berkaca, untuk bisa sekali lagi memahami hidup: mana yang bisa dibuat mudah dan praktis dan mana yang memang harus dipertahakan – bukan karena menyenangi keribetan – tapi memang itulah yang membuat kita manusia. Sebutlah tentang keterampilan, dexterity. Kecakapan.

Di balik hal-hal yang semestinya dipelihara itu justru terletak supremasi kemanusiaan, yang membedakan kita dari makhluk hidup lain dan juga beda dengan robot.

Orang-orang yang hidupnya sudah terprogram dengan kemudahan, prosedur operasional standar, akhirnya terjebak menjadi robot hidup.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Saat ini, anak-anak merasa nyaman menggunakan layar sentuh, keyboards – hasil evolusi menulis huruf sambung dan huruf cetak, begitu pula kita menikmati kepraktisan mengikat sepatu dengan lapisan rekat ulang bernama velcro – ketimbang menggunakan tali sungguhan untuk dijalin dan diikat.

Hidup yang mempunyai makna cetek alias superfisial, tentu akan melihat tulisan sebatas fungsi rapih dan mengenakan sepatu sebatas kecepatan proses bersepatu.

Padahal menulis dengan tangan, apalagi huruf sambung – membuat gerak kinestetik khas yang melibatkan stimulasi otak – yang akan terintegrasi dengan berbagai area belajar dan bekerja serta kecerdasan. Begitu pula dengan menali sepatu.

Kebablasan teknologi yang diindentikkan dengan era kemajuan, jika tidak diimbangi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia yang sesungguhnya, membuat kita menciptakan robot-robot baru yang tergantung dan menjadikan teknologi sebagai kebutuhan primer.

Jangan kaget jika pernikahan suatu hari nanti hanya dilihat sebagai konotasi tradisi dan religi.

Untuk punya keturunan, orang yang menikah pun akhirnya menggantungkan diri pada teknologi: akibat salah di gaya hidup dan punya masalah reproduksi. Bukan gaya hidupnya yang dibereskan.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Begitu pula janji industri yang penuh promosi menjadi juru selamat pangan di hari depan – yang membuat ibu-ibu tidak lagi perlu hitung kalori.

Bahkan, siap konsumsi tanpa ketakutan risiko kontaminasi – jika ditelan bulat-bulat sebagai kemajuan teknologi, maka kita semua akan berubah menjadi robot dan kaum terjajah teknologi industri.

Lalu buat apa berlelah-lelah bicara soal pemberdayaan? Yang ada, pemberdayaan diplesetkan – sesuai kepentingan.

Rakyat dianggap berdaya jika punya uang dan tinggal beli makanan siap di meja. Tak perlu memilih bahan, apalagi meracik dan mengolah. Sudah ada pakarnya yang disewa industri.

Bahkan sustainabilitas dan kontinuitas ketersediaan pangan dianggap terjamin. Perusahaan raksasa akan melakukan teknologi transgenik – yang membuat bahan pangan tersedia setiap saat.

Baca juga: Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?

Ideologi konsep pangan secara terstruktur, sistematis dan masif sudah dijalankan gencar mulai dari iklan pangan hingga kongres, simposia, dan pertemuan ilmiah para pakar.

Sampai akhirnya kita tidak berkutik lagi, manut patuh seakan tidak ada jalan keluar.

Ibu-ibu diajarkan membuat bubur bayi dengan cukup membuka kemasan, dan ‘agar kelihatan home-made’ bolehlah menyalakan kompor, tambahkan air, tunggu hingga mendidih, lalu berikan sedikit potongan sayur ini dan itu – persis seperti main masak-masakan zaman balita.

Lalu lengkaplah bubur bayi ‘buatan mama’. Tanpa perlu capek mengulek, memikirkan apa proteinnya, perlu beli untuk persediaan berapa hari, dan persis seperti jargon industri: tidak perlu sedih ada bahan yang terbuang!

Nanti jika anaknya sudah besar, dia akan mengatakan hal yang sama: “Oh,kami memasak sendiri di rumah!” dengan membeli adonan beku pizza, saus tomat jadi, sosis serta keju parut kemasan.

Baca juga: Ketika Menyusui Hanya Sekedar Memberi ASI

Saat semua kolaborasi, konsinyasi dan kolusi industri runtuh karena satu dan lain hal – termasuk putus kongsi – runtuh semua ketahanan pangan bangsa.

Kapitalisme dan penjajahan sebenarnya sangat jahat, membahayakan, sebelumnya menimbulkan ketergantungan lebih dahulu.

Bahkan apabila sudah mendapat hati dari pemerintah yang berkuasa, mereka akan semakin merajalela cenderung melupakan norma. Akhirnya membuat rakyat terkotak-kotak dengan kasta.

Sebab ada kemasan mewah dengan isi premium, dan kemasan lain berharga ekonomis praktis.

Sementara yang namanya bayam dan daun singkong dimana-mana komposisinya sama, begitu pula komposisi asam amino protein ikan bawal. Tinggal bagaimana rakyat diajari mengolahnya.

Jangan sampai ikan dan manggis kita diekspor, sementara rakyat kita terus makan kemasan terfortifikasi – mirip bencana kelaparan yang tidak pernah selesai di Afrika.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com