Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/08/2019, 09:27 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com – “Sorry telat, tadi macet.” Pernah gak mendengar kalimat tersebut jadi alasan seseorang ketika terlambat datang ke sebuah acara?

Macet memang kerap dijadikan alasan. Apalagi beberapa lembaga riset memang menunjukkan betapa makin macetnya kota-kota besar di Indonesia.

Lembaga riset Inrix pada 2017 mengumpulkan data, dari 1.360 kota di 38 negara yang mencakup lebih dari 250.000 kilometer persegi jalan, dan berfokus pada kemacetan di seluruh sepanjang hari dan minggu.

Hasilnya, Jakarta berada pada daftar 25 kota-kota termacet di dunia yang peringkatnya naik ke posisi 12 dibanding 2016 pada posisi 22.

Baca juga: 9 Kebiasaan Buruk yang Dilakukan Orang-orang Kesepian

Dalam riset itu disebut, lama waktu yang dihabiskan pengendara ketika macet mencapai 63 jam dalam setahun.

Berdasarkan persentase, rata-rata waktu yang dihabiskan pengendara saat macet adalah 20 persen.

Lalu, Bandung menduduki posisi kedua kota termacet di Indonesia, setelah Jakarta. Lama waktu kemacetan di Bandung meningkat dari 2016, mencapai 46 jam dalam setahun.

Namun macet sudah tidak relevan dijadikan alasan seseorang terlambat datang. Sebab, seharusnya seseorang sudah mempersiapkan diri agar tidak terlambat.

Budaya ngaret

Ada alasan lain kenapa seseorang sering terlambat, yaitu budaya ngaret.

Sosiolog dan Peneliti Independen, Bayu A Yulianto mengatakan, ngaret menjadi kebiasaan buruk orang Indonesia, dan menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan.

Bahkan, asumsi orang Indonesia tak bisa lepas dari ngaret kini sudah menjadi stereotype karena mereka sulit menjaga waktu. Khususnya, ketika membuat janji dalam sebuah pertemuan.

Budaya ngaret terjadi karena Indonesia memiliki konsep waktu yang sangat longgar.

Baca juga: Cara Jitu Setop Kebiasaan Buruk

Contohnya penyebutan “abis maghrib” atau “abis isya”. Itu merupakan konsep waktu yang sangat longgar.

“Konsep waktu longgar memungkinkan orang untuk melebarkan atau memperpanjang waktu,” ujar Bayu kepada Kompas.com seusai acara GrabBike Dukung Pejuang #AntiNgaret di Bandung, belum lama ini.

Bayu mengatakan, konsep waktu longgar juga dimiliki sejumlah negara di Amerika Latin seperti Brasil, Colombia, dan Venezuela.

Melihat itu, ada kecenderungan budaya ngaret terjadi di negara-negara berkembang atau bekas jajahan seperti Indonesia.

“Di negara maju gak ada. Di Asia misalnya, Jepang sangat terkenal disiplin pada waktu. Padahal sama-sama berada di Asia dengan Indonesia,” imbuh dia.

Baca juga: 7 Kebiasaan Buruk yang Bisa Menyebabkan Gangguan Mental

Budaya ngaret di Indonesia sudah berlangsung lama. Setidaknya makin berkembang pada tahun 1980-an.

Pada tahun itu, Indonesia mulai merasakan macet karena kondisi angkutan umum dan jumlah jalan yang terbatas.

Makin lama kondisi macet makin menggila hingga kerap dijadikan alasan bagi orang yang suka ngaret. Padahal alasan macet saat ini sudah tidak relevan lagi.

“Orang yang tidak suka ngaret akan pergi lebih awal agar tidak terlambat. Sedangkan orang yang dasarnya pengen ngaret bakal telat."

"Ada hambatan struktur di luar dirinya yang menyebabkan dirinya sulit untuk on time,” ungkap Bayu.

Apalagi, dengan berkembangnya trasportasi seperti ojek online, seharusnya dimanfaatkan agar tidak telat.

Baca juga: 8 Kebiasaan Buruk yang Membahayakan Kesehatan Jantung

Senior Manager Area Marketing Grab Indonesia Hery Yulianto mengatakan, ada banyak orang yang tak ingin terjebak dalam kebiasaan mengulur-ulur waktu.

“Kami menyebutnya pejuang #AntiNgaret,” tutur Hery.

Untuk mendukung hal tersebut, Grabbike menghadirkan kampanye #AntiNgaret di delapan daerah besar di Indonesia, yakni Semarang, Yogyakarta, Medan, Bandung, Makassar, Surabaya, Palembang, dan Jabodetabek.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com