Soekarno memesan wayang untuk cinderamata di Istana.
“Sekali kirim ke Istana satu peti, berisi 90 karakter wayang. Pengiriman dan pembayaran biasanya dilakukan (pasukan) Cakrabirawa,” tutur dia.
Pengiriman suvenir Istana ini berlangsung hingga tahun 1964. Selepas itu, memasuki era Soeharto dibuatlah Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).
Sang ayah ikut membantu beberapa tokoh Jawa Barat, seperti mantan gubernur Jabar, Solihin GP atau Mang Ihin dalam mengisi anjungan Jawa Barat Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Ruhiyat pun kerap diundang ke luar negeri untuk mengisi workshop wayang golek.
Terakhir, sang ayah menjadi salah satu pengisi acara di Den Haag, Belanda, tahun 1986.
Baca juga: Asep Sunandar Sempat Mengajarkan Wayang Golek di Perancis
Selain di dalam negeri, wayang golek juga memang dikenal amat diminati warga asing.
Tepatnya di tahun 1974 saat seorang wartawan Jerman membuat buku petunjuk wisata Indonesia bagi orang-orang Eropa.
Saat itu, banyak orang Eropa yang akhirnya mengenal wayang golek produksi ayahnya.
Begitu pun warga Amerika Serikat yang melihat buku panduan wisata Indonesia dalam penerbangannya.
“Buku panduannya beda. Kalau yang Amerika ini, buku panduannya dibuat orang Australia. Bisa dilihat di penerbangan Indonesia tahun 1978an,” ucapnya.
Seiring berkembangnya teknologi informasi, pembeli wayang di galeri miliknya didominasi wisatawan asing.
Pada Mei-Oktober, rombongan wisatawan asing datang ke tempatnya dan membeli wayang.
Hingga bom Bali terjadi pada tahun 2002, kemudian disusul bom Bali II tahun 2005. Penjualan wayang di galerinya merosot drastis.
Orang Eropa, Amerika, dan Australia yang kerap datang ke galerinya mendadak menghilang.