Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Golek: Dakwah, Soekarno, hingga Bom Bali...

Kompas.com - 28/08/2019, 14:34 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.comWayang golek merupakan salah satu kesenian khas tanah Sunda. Berbeda dengan jenis wayang lainnya, wayang golek terbuat dari kayu.

Bagi yang ingin melihat proses langsung pembuatan wayang golek, bisa mendatangi sejumlah lokasi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Salah satunya kampung wayang di Jelekong.

Tak hanya itu, di tengah Kota Bandung pun ada Galeri Ruhiyat di Kampung Wayang Urban (Urang Bandung) di bilangan Pangarang.

Pemilik Galeri Ruhiyat, Tatang Heryana (66) mengaku sebagai generasi ketiga perajin wayang. Galeri ini pernah sangat berjaya di masa generasi kedua atau pada masa sang ayah, Ruhiyat.

Dakwah

Dikisahkan, Ruhiyat mulai aktif membuat wayang sejak tahun 1955. Berbeda, dengan perajin kebanyakan, Ruhiyat tidak mengikuti ritual pembuatan wayang.

“Ada ucapan kalau mau buat wayang cepot, albasiah (jenis kayu) yang akan digunakan kedah dipaok (harus dicuri),” ucap Tatang kepada Kompas.com di Bandung, akhir pekan lalu.

Menurut Tatang, ritual paling banyak ada pada dalang demi menjaga karismanya.

Misalnya, saat akan memainkan semar, selama tiga hari sebelum mendalang harus berpuasa dan tidak boleh bertemu istri.

Baca juga: Wayang Golek Spesial untuk Damian Lizio

Biasanya, dalang akan menyepi semacam semedi. Saat mau berbuka puasa, istri dalang hanya menyiapkan makanan, dan meletakkan di depan pintu, setelah itu pulang.

Begitu pun saat ada acara syukuran yang menghadirkan wayang golek sebagai hiburan. Kepala domba ataupun sapi yang dipotong harus digantungkan di panggung.

Demi meluruskan ritual-ritual ini, Ruhiyat akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia dalang pada tahun tahun 1960.

“Wayang sudah menjadi media dakwah sejak jaman wali dan ritual itu tidak ada. Untuk meluruskan, Pak Ruhiyat akhirnya jadi dalang,” ungkap Tatang.

Soekarno

Meski sibuk dengan profesi dalangnya, sambung Tatang, Ruhiyat tetap memproduksi wayang golek.

Saat itu, rumah produksinya berdekatan dengan rumah kerabat Presiden Soekarno.

Tatang mengingat, saat Soekarno bertemu dengan ayahnya untuk melihat dan memesan wayang, ia masih kecil.

Baca juga: Reza Purbaya, Penjaga Terakhir Wayang Golek Betawi

Dalam sebulan, Tatang Heryana (66) mampu memproduksi 15 kepala wayang golek. Bagian kepala termasuk wajah menjadi hal tersulit dalam pembuatan wayang golek. KOMPAS.com/RENI SUSANTI Dalam sebulan, Tatang Heryana (66) mampu memproduksi 15 kepala wayang golek. Bagian kepala termasuk wajah menjadi hal tersulit dalam pembuatan wayang golek.
Soekarno memesan wayang untuk cinderamata di Istana.

“Sekali kirim ke Istana satu peti, berisi 90 karakter wayang. Pengiriman dan pembayaran biasanya dilakukan (pasukan) Cakrabirawa,” tutur dia.

Pengiriman suvenir Istana ini berlangsung hingga tahun 1964. Selepas itu, memasuki era Soeharto dibuatlah Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).

Sang ayah ikut membantu beberapa tokoh Jawa Barat, seperti mantan gubernur Jabar, Solihin GP atau Mang Ihin dalam mengisi anjungan Jawa Barat Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Ruhiyat pun kerap diundang ke luar negeri untuk mengisi workshop wayang golek.

Terakhir, sang ayah menjadi salah satu pengisi acara di Den Haag, Belanda, tahun 1986.

Baca juga: Asep Sunandar Sempat Mengajarkan Wayang Golek di Perancis

Selain di dalam negeri, wayang golek juga memang dikenal amat diminati warga asing.

Tepatnya di tahun 1974 saat seorang wartawan Jerman membuat buku petunjuk wisata Indonesia bagi orang-orang Eropa.

Saat itu, banyak orang Eropa yang akhirnya mengenal wayang golek produksi ayahnya.

Begitu pun warga Amerika Serikat yang melihat buku panduan wisata Indonesia dalam penerbangannya.

“Buku panduannya beda. Kalau yang Amerika ini, buku panduannya dibuat orang Australia. Bisa dilihat di penerbangan Indonesia tahun 1978an,” ucapnya.

Bom Bali

Seiring berkembangnya teknologi informasi, pembeli wayang di galeri miliknya didominasi wisatawan asing.

Pada Mei-Oktober, rombongan wisatawan asing datang ke tempatnya dan membeli wayang.

Hingga bom Bali terjadi pada tahun 2002, kemudian disusul bom Bali II tahun 2005. Penjualan wayang di galerinya merosot drastis.

Orang Eropa, Amerika, dan Australia yang kerap datang ke galerinya mendadak menghilang.

Hal itu terjadi seiring terbitnya travel warning yang diterapkan banyak negara untuk tidak memasuki Indonesia.

“Wisatawan asing ini lebih menyukai wayang golek dibanding pribumi. Makanya saat bom Bali terjadi, nyaris tak ada pemasukan,” ucap dia.

Setelah travel warning dicabut, penjualan wayang golek di galerinya berangsur membaik, meskipun tidak sepenuhnya normal.

Ditambah perdagangan bebas, membuat penjualan menurun. Waktu kunjungan wisatawan asing ke Bandung pun semakin berkurang.

Jika dulu bisa 4-7 hari, sekarang kurang dari itu. “Berbeda dengan Bali yang sangat hidup karena pusat kebudayaannya," kata Tatang.

"Bandung sekarang susah mau nonton wayang golek, belum lagi macet, jadi waktu kunjungannya makin menurun,” tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com