Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Kompas.com - 01/09/2019, 10:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Nah, masalah terbesar dengan penanganan kesehatan tradisional Indonesia adalah unsur ketiadaannya penatalaksanaan pemeriksaan yang membuat orang bisa menjelaskan sakitnya apa, sumbernya dari mana dan kenapa orang bisa sakit – sebelum lompat ‘obatnya apa’.

Akhirnya para pengobat tradisional mau tak mau meminjam tata laksana diagnostik ilmu kedokteran barat untuk bisa bicara ‘benjolan ini apa?’. Tumor jinak? Kista? Kanker? Atau untuk menjelaskan demamnya datang ‘disebabkan oleh apa’.

Kadang saya jadi ngeri sendiri melihat orang-orang yang sembarang membeli jamu atau rempah-rempah yang dihubung-hubungkan sebagai obat.

Zaman saya kecil, nyeri ngilu sendi paling hanya disebut sebagai rematik. Tapi sekarang begitu banyak jamu ditujukan untuk mengobati ‘asam urat’.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

Baik penderita maupun tukang jamunya saja tidak paham apa itu asam urat. Lebih parah lagi, dikira uratnya yang sakit karena ototnya terlalu mengeluarkan asam (sungguh, saya pernah mendengar pasien mendapat penjelasan begitu dari ‘dukun’nya).

Padahal, asam urat tidak ada hubungannya sama sekali dengan otot dan urat/tendon. Melainkan terjemahan dari bahasa asing uric acid – yang dibahasakan dengan akhiran ‘at’, seperti cuka dapur – acetic acid – jadi asam asetat.

Lebih konyol lagi, sang tukang jamu tidak paham metabolisme asam urat. Apalagi jika munculnya kelebihan asam urat diakibatkan karena penyakit pendahulunya: darah tinggi atau diabetes.

Urusan bumbu dapur dan berbagai akar serta batang untuk duduk sejajar sebagai kemoterapi, tentu masih amat jauh sekali.

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

Barangkali lebih bijak jika berbagai kandungan antioksidan dan polifenol di dalamnya ditempatkan sebagai kemo-preventif. Yang memang amat kita butuhkan di masa sekarang ini. Mencegah sebelum kejadian.

Itu sebabnya makan kari dengan bumbu kunyit dan daun salam jauh lebih sehat ketimbang saus mayones di atas sushi.

Minum teh sereh sore hari ditemani pecel mlanding – petai cina yang sudah mulai sirna itu – dan kembang turi jauh lebih berharga daripada ngopi-ngopi kekinian penuh cairan kimia manis bernama high fructose corn syrup.

Amat disesalkan jika kita sibuk mencari ‘obatnya apa’ untuk semua penyakit yang bermunculan di era ini, sementara sabotasenya masih jalan terus bahkan mengalami pembiaran, jika terlalu vulgar untuk disebut dikipas-kipasi sebagai terobosan bisnis anak muda.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com