Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?

Kompas.com - 06/09/2019, 20:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Bertubi-tubi masalah kesehatan menghujani ringkihnya keberlangsungan hidup tenteram negri tercinta ini.

Mulai dari ngerinya stunting akibat 1000 Hari Pertama Kehidupan bayi yang tidak mendapat asuhan optimal dan bakal jadi beban di kemudian hari, hingga yang sekarang sudah nyata-nyata hidup dengan ongkos berobat yang tak tertanggungkan lagi oleh BPJS.

Dan tak ada tanda-tanda perbaikan kualitas hidup, yang ada justru angka-angka Riset Kesehatan Dasar terbaru yang semakin membuat was-was bagi siapa pun yang paham soal semakin tingginya kejadian penyakit-penyakit katastropik seperti diabetes, hipertensi, kardiovaskuler, dan kanker.

Di sisi lain, hal-hal yang mestinya menjadi penyeimbang beratnya masalah penyakit malah tidak ada perbaikan, justru kian memperburuk situasi.

Sebutlah soal kebiasaan olahraga dan beraktivitas fisik, bukannya semakin banyak orang yang gemar bergerak, malah terjadi kenaikan dari 26,1% populasi yang malas bergerak menjadi 33,5%.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Belum lagi bicara soal kebiasaan konsumsi sayur dan buah. Di tahun 2013, terdata 93,5% orang Indonesia kurang konsumsi sayur dan buah – angka yang amat absurd di bumi subur kaya akan hasil bumi.

Pun setelah Presiden secara khusus mengintervensi dengan Inpres di tahun 2017 tentang Germas – Gerakan Masyarakat Hidup Sehat – yang antara lain mendorong peningkatan asupan sayur dan buah, ternyata hanya dianggap angin lalu.

Fakta menyedihkan di tahun 2018, justru semakin banyak orang yang kurang makan sayur dan buah: 95.5% angka fantastis yang hampir mendekati 100%.

Lalu kemana larinya sayur dan buah kita? Diekspor? Pantas orang-orang negri lain semakin bugar, dan kita kian pengar.

Mabuk ‘peningkatan penghasilan’ hasil berjualan – yang digunakan justru membeli makanan kemasan.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

 

Dari penelitian Helen Keller International di Kota Bandung pada tahun 2018, 50% bayi yang tadinya dibesarkan dengan ASI akhirnya jatuh ke jeratan susu formula.

Begitu pula 50% balita sudah terpapar dengan minuman manis termasuk soda dan 85% balita diberi jajanan tinggi gula garam dan lemak produksi pabrik.

Angka-angka ini tidak akan beda jauh jika kita lakukan surveinya di pelosok tanah air. Sebab di Lombok Timur saja, ditemukan bayi-bayi di bawah usia 6 bulan sudah diberi ibunya makanan praktis bernama bubuk kemasan rasa ‘kacang hijau’ dengan gula 4 gram per bungkus untuk 1 kali penyajian.

Istilah praktis, ekonomis, higienis menjadi jargon ampuh para industrialis yang meninabobokan ibu-ibu milenial minus ajaran pola asuh.

Ketika teknokrat dan birokrat berembuk membahas carut marutnya urusan gizi dan penyakit, tersusunlah modul-modul teoritis dan strategi kampanye dan sosialisasi di sana sini. Sama sekali tidak salah.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Tapi, berikutnya apa? Sebab begitu publik sudah ‘ngeh’, saat masyarakat sudah sadar, bukan berarti mereka akan langsung angkat jinjingan belanja sayur dan buah.

Yang menarik justru pemangku kebijakan kalah cepat dengan pelaku bisnis oportunistik. Memanfaatkan momen sekaligus menimang kecanduan, sayur dan buah dikemas menjadi jus praktis yang membuat makan sayur dan buah semakin jauh dari tujuan kesehatan sesungguhnya.

Begitu pula ketika teknokrat dan birokrat kelabakan menutup kerugian BPJS, fokus ekonomi akhirnya tinggal mengandalkan strategi iuran bulanan.

Menyelesaikan masalah? Tidak. Akan ada jurang yang lebih dalam lagi. Bagi yang sanggup bayar, tentu akan menuntut fasilitas berobat lebih layak. Sakit sedikit, yang penting obatnya banyak. Tidak mau rugilah.

Baca juga: Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?

Bagi yang tidak sanggup bayar, lari ke dukun – yang lebih ‘community friendly’ – memahami kesulitan rakyat kecil, bahkan ramuannya ‘lebih alami’.

Jika sembuh dianggap jamunya ampuh, jika meninggal pun diikhlaskan sebagai suratan nasib.

Mendidik masyarakat di era asuransi kesehatan, tidak cukup hanya dengan memberi fasilitas berobat.

Sekaya apa pun jaminan sosial suatu negara, akan bangkrut total jika ‘paket kembar strategi kesehatan nasional’ tidak dijalankan: upaya kuratif sekaligus upaya preventif.

Indonesia jelas-jelas mempunyai ketimpangan di antara kedua upaya itu. Preventif jangan diasumsikan semata-mata soal mencegah orang jadi sakit.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

 

Upaya satu ini amat berharga justru bagi yang sudah sakit, agar tercegah dari komplikasi penyakit berikutnya.

Biaya berobat menjadi mahal, justru ketika pasien diabetes jatuh menjadi stroke dan gagal ginjal. Begitu pula pasien hipertensi dan sindroma metabolik terperosok jadi gagal jantung.

Perlu ada strategi kebijakan yang tidak hanya mengakomodasi mereka sebagai pemakai fasilitas berobat.

Bagi orang-orang yang disiplin membayar iuran asuransi tapi klaim berobatnya amat jarang apalagi tidak pernah menggunakan fasilitas berobat, justru perlu mendapat apresiasi.

Bukan soal solidaritas belaka, tapi mereka ini adalah contoh, panutan kelompok masyarakat yang mampu jaga diri, sukses melaksanakan upaya preventif dan promotif.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Apresiasi dan ‘fasilitas khusus’ seperti bonus yang semakin menunjang taraf kesehatan membuat para peserta asuransi atau BPJS terhindar dari mangkir membayar kewajiban iuran.

Di sisi lain, muncul pertanyaan baru: seberapa kompetennya tenaga-tenaga kesehatan kita terlatih dan terdidik baik untuk membimbing, memberdayakan para pasiennya di upaya preventif dan promotif ini?

Tenaga kesehatan bisa jadi mumpuni, tapi bila tidak didukung dengan semua kebijakan yang suportif, maka yang ada nantinya wajah-wajah frustrasi berakhir dengan etos kerja ‘seadanya’. Atau mudah dihasut dengan iming-iming materi.

Masih dari studi Helen Keller International, 50% penganjur asupan susu formula justru tenaga kesehatan.

Bukan rahasia umum, pulang bersalin ibu-ibu mendapat ‘goody bag’ dari rumah bersalin dengan sponsor industri susu formula.

Baca juga: Ketika Menyusui Hanya Sekedar Memberi ASI

 

Lebih miris lagi, tenaga kesehatan sama sekali buta dengan istilah ‘cross promotion’ alias promosi silang – dimana jejeran produk dari perusahaan yang sama saling memberi pengaruh bagi calon konsumen.

Dengan desain kaleng atau tampilan kardus yang mirip, susu lanjutan anak balita dan susu formula bayi hampir tidak ada bedanya.

Memperkenalkan ibu hamil untuk minum susu saja bisa jadi batu loncatan susu bagi bayinya di kemudian hari.

Pemangku kebijakan dan pelaksana aturan di semua sektor sudah waktunya duduk bersama untuk saling mendukung, menjadi jelas tujuan pembangunan manusia unggul itu indikatornya apa dan arahnya kemana.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Jika tidak, masyarakat menjadi bingung dan pelaku ekonomi kian beruntung karena bisa melakukan apa saja tanpa aturan yang disepakati bersama.

Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, bangsa kita sedang mengalami transformasi besar. Mencetak sumber daya manusia unggul bukanlah pekerjaan satu malam.

Dengan belajar dari jatuh bangunnya negara-negara lain yang sudah lebih dahulu maju, kita tidak perlu harus terseret mengalami kesalahan yang sama berharga mahal.

Sama mahalnya seperti buang uang seminar berulang kali soal penanggulangan stunting dan pemberantasan penyakit katastropik di hotel-hotel bagus, dengan foto-foto semringah para pesertanya terpajang di media sosial.

Sementara di luar sana, tetap saja perang spanduk rokok saling mempertontonkan harga murah terjangkau untuk perokok pemula dan waralaba makanan minuman tinggi gula pun kian menggila.

Baca juga: Ironi Korelasi antara Ekonomi dan Literasi Gizi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com