Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/09/2019, 20:57 WIB
Kahfi Dirga Cahya,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Stunting atau perawakan pendek pada anak akibat malnutrisi kronis masih menjadi tantangan di Indonesia.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen yang artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting.

Terlebih, Indonesia juga merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.

Kondisi stunting akan berdampak serius bagi kesehatan anak baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yang terhambat, performa anak yang menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan dan risiko kematian.

Baca juga: Mengenal Stunting dan Efeknya pada Pertumbuhan Anak

Sedangkan untuk dampak jangka panjang dari stunting yaitu obesitas, peningkatan risiko penyakit tidak menular, bentuk tubuh pendek saat dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang.

Dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K) mengungkapkan, stunting hanya bisa teratasi selama periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa di mana otak anak berkembang pesat.

ASI Eksklusif, katanya, penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun.

"Pada tahap pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI), orangtua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi, dan protein hewani," katanya.

Damayanti mengungkapkan itu dalam seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) yang digelar Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI).

Ilustrasi susuShutterstock Ilustrasi susu

Sementara itu, Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) mengungkapkan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu.

"Karena (telur dan susu) memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak," katanya.

Sayangnya, pada kenyataannya, asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah.

Dalam salah satu studi ditemukan, bahwa asupan protein hewani yang rendah ini berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting.

Anak yang tidak mengkonsumsi jenis protein hewani apa pun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengonsumsi tiga jenis protein hewani yaitu telur, daging, dan susu.

Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, susu adalah yang paling erat hubungannya dengan angka stunting yang rendah karena konsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com