Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/09/2019, 05:58 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi menceritakan masa lalunya saat dipaksa harus menjadi dokter.

“Saya ini korban harus jadi dokter. Saya kembar, saudara saya lebih pintar,” ujar Seto kepada Kompas.com seusai Gerakan Sosial #JamMainKita di Bandung, Selasa (24/9/2019) kemarin.

Saat mendaftar masuk Fakultas Kedokteran, saudara kembarnya lulus. Sedangkan ia gagal.

“Gara-gara itu, ada tali rapia. Hampir aja (bunuh diri). Terus saya kabur ke Jakarta,” ucap pria yang akrab disapa Kak Seto ini.

Di Jakarta, Kak Seto menjadi gembel selama tujuh bulan. Tidur di emperan pasar, menjadi kuli pasar hingga tukang batu.

Baca juga: Stres Picu Munculnya Penyakit Kronis, Curhat Jadi Solusi

Ia pun dikasih pisau saat tiba di Jakarta. Orang yang memberi pisau berkata, kalau mau hidup di Jakarta, pakai pisau untuk nodong. Namun, dia tidak ingin mengambil langkah tersebut.

Setelah menggembel, Kak Seto menjadi asisten rumah tangga selama tujuh tahun. Bahkan hingga lulus kuliah, Kak Seto masih menjadi gembel.

“Waktu itu saya tidak mau pulang sebelum sukses. Sampai saya jadi mandiri, baru berani pulang. Alhamdulillah bisa,” ucapnya.

Untuk mengenang masa lalunya, saat ulang tahun ia kerap pamit dari keluarga dan mengenang masa-masa indah dulu saat menjadi gembel.

Dia menyebut, meski ada musuh yang kerap merundung, tapi banyak pula yang baik.

Baca juga: Kala Depresi Patah Hati Berujung Bunuh Diri...

Semua anak hebat

Dari kisahnya, Kak Seto mengajak semua orangtua memahami anak bahwa semua anak hebat. Orangtua harus bangga dengan putra puterinya.

Seorang anak, sambung Kak Seto, tidak semuanya harus menjadi dokter. Ia mengistilahkannya lima Rudy.

“Ada Rudy Habibie, Rudy Salam, Rudy Hartono, Rudy Hardisuwarno, Rudi Khaerudin. Semuanya hebat. Ada yang pintar smash, masak, gunting, hebat-hebat,” imbuhnya.

Intinya, belajar adalah hak anak, pemenuhan hak anak untuk tumbuh kembang lebih optimal. Begitu pun kurikulum untuk anak, bukan anak untuk kurikulum.

Hal itulah yang menyemangati Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Baca juga: Memahami Tingginya Risiko Depresi pada Orang Kegemukan

UU ini menggambarkan pendidikan anak bisa dilakukan melalui formal, non formal, dan informal.

Home schooling legal di Indonesia. Kembngkan saja jika anak stres di sekolah formal,” ucapnya.

Orangtua, jangan membuat anak stres dengan hanya belajar. Kadang pendidikan pun diambil gampang dengan cara membentak, suruh bikin PR, pergi sekolah dengan tas yang berat, dan lainnya.

Padahal, wajib belajar itu untuk pemerintah, masyarakat, dan orangtua. Sedangkan bagi anak, belajar itu hak bukan kewajiban.

Baca juga: 9 Makanan dan Minuman Penangkal Kecemasan dan Stres

“Tekanan atas nama pendidikan, bisa membuat anak stres, sehingga timbul bullying, tawuran, dan lain-lain,” ucap dia.

Bahkan penelitian Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menemukan, 60-70 persen SD di Jawa Barat mengalami bullying.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah bermain yang dilakukan berkelompok. Misalnya, menggunakan permainan tradisional yang banyak manfaatnya.

Hal itu dilakukan di sekolah atau pun di rumah.

“Orangtua harus mengajak main anaknya, jangan mager. Ada orangtua juga yang mengatakan tidak punya waktu."

"Kalau tidak punya waktu untuk anaknya, buat apa memiliki anak?” tutup Kak Seto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com