KOMPAS.com - Saya menulis ini saat musim gugur masih cukup panas di Tiongkok tengah, tepatnya di desa kecil di Propinsi Henan.
Tiga tahun yang lalu, saya menjejakkan kaki pertama kalinya di tempat ini. Awalnya hanya didorong rasa ingin tahu, mengapa orang dari seluruh penjuru dunia harus kemari untuk belajar Taichi – yang kebetulan dipelopori oleh dinasti keluarga bermarga sama seperti saya, Chen (di Indonesia, marga Chen dikenal sebagai “Tan” – karena dialek etnik Hokkian).
Di desa ini, semua kepala keluarga bermarga Chen. Karenanya disebut ‘Chen Jia Gou’ – desa dimana rumah-rumah marga Chen berada.
Yang pasti, leluhur saya bukan berasal dari tempat ini. Ceritanya saja sudah tidak pernah ada yang tahu.
Enam generasi di atas ayah sudah tercatat ada di Jawa, tepatnya Tegal. Begitu pula hasil telusur silsilah ibu saya yang tersebar dari Batavia hingga Semarang sekian generasi berabad yang lalu.
Baca juga: Ketika Tips Kesehatan Berujung Pembodohan
Di tempat ini, saya justru merasa seperti orang asing berwajah tidak asing. Mereka mengenali saya sebagai orang China karena kemiripan wajah, tapi bahasa saya sama sekali tidak dipahami.
Rasa frustrasi agak terobati, saat beberapa pendatang dari negri lain mulai menyapa dalam bahasa Inggris. Minoritas rasa mayoritas, kata orang.
Yang kocak, saat kembali ke tanah air – Indonesia – kadang sensasi kebalikannya terjadi: mayoritas rasa minoritas.
Ya sudahlah, kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam rupa etnik apa, tapi merupakan suatu pilihan jelas kita akan mati sebagai bangsa apa.
Dengan penduduk hampir menyentuh 1,4 milyar manusia, Tiongkok melakukan perubahan drastis yang tidak mampu saya bayangkan dalam bentuk program apa pun.
Baca juga: Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.