Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China

Kompas.com - 05/10/2019, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebagai awam, yang bisa diamati adalah apa yang mereka makan sehari-hari di padepokan-padepokan Taichi.

Di desa ini, tidak ada sejengkal pun tanah menganggur tanpa ditanami sayur dan buah yang biasa mereka konsumsi. Bukan untuk dijual.

Sekali pun tanahnya tidak sesubur Nusantara, umbi-umbiannya tidak sebanyak yang kita punya, nampak mereka bangga dengan apa yang dimiliki.

Setiap sarapan, makan siang dan malam, umbi yang dikenal sebagai “San Yao” muncul satu baki penuh.

Dikenal sebagai talas China (Chinese Yam) rasa san yao bisa disebut gabungan antara ubi kuning dan kentang. Agak hambar, berbeda jauh dengan ubi merah jingga, ungu, apalagi ubi Cilembu.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Namun san yao mempunyai banyak medali sebagai bahan pangan kaya gizi. Mengandung diosgenin, sebagai steroid dan fito estrogen membuatnya mampu mencegah keluhan pasca menopause dan gangguan haid.

Selain itu juga kaya akan allantoin yang mempercepat pertumbuhan jaringan sehat dan mempersingkat waktu penyembuhan pada luka.

Antioksidan serta berbagai kandungan mineralnya memerbaiki fungsi hati, ginjal sekaligus mencegah keropos tulang.

Mendengar hal di atas, bisa jadi orang Indonesia akan berebut memborongnya, bahkan mulai menjual sebagai ‘obat’ dan menayangkannya secara bombastis di lapak-lapak media online.

Bahkan bila perlu dibuat bubuk, diaduk bercampur cendol manis legit atau kopi sebagai minuman kekinian dengan klaim anti penuaan dini. Seperti yang sudah terjadi dengan daun kelor.

Fenomena seperti di atas sama sekali tidak terjadi di desa tenang ini. Hidup berjalan dengan santun, jauh dari keriuhan istilah ‘kekinian’ – sekali pun mereka terbiasa bicara keras mirip orang bertengkar.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Tanpa merasa harus disuplai pemerintah dengan tabung gas, mereka masih memasak untuk ratusan orang pendatang dengan tungku arang.

San yao dihidangkan sebagai rebusan, bersama dengan gulungan roti gandum mereka yang bertekstur kasar dan kusam, ditambah bubur millet encer.

Tidak ada gorengan sama sekali. Tapi tumisan berkuah campuran kembang kol atau kembang tahu dan jamur kuping saja rasanya sudah nikmat.

Kadang jika mujur, ayam muncul sebagai menu favorit, berupa semur encer dengan banyak buncis, rebung, dan daun kol atau akar teratai. Apel, semangka selalu tersedia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com