Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China

Kompas.com - 05/10/2019, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saya tertegun melihat salah seorang peserta latih termuda, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, yang datang jauh-jauh dari propinsi Hebei, melahap semua lauk sayur dan buahnya banyak-banyak di meja makan sendirian – tanpa ada pendampingan orang tuanya.

Dengan bahasa Cina terpatah-patah yang amat payah diselingi kode Tarzan, saya berusaha menggali lebih banyak tentang bocah bertubuh bagus ini, yang ternyata sudah berlatih Taichi bertahun-tahun sejak kecil sebagai anak tunggal.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Ketika Taichi dipraktekkan di Indonesia sebagai ‘olah raga’ dan gerakan-gerakan yang bisa jadi tidak dipahami maknanya, di tanah asalnya Taichi adalah bagian dari gaya hidup.

Taichi adalah penggabungan konsep Dao (Tao) Yin, latihan yang mengintegrasikan gerak, pemupukan chi, dan olah napas sebagaimana para rahib Tao menjalaninya - dengan penambahan seni bela diri (martial arts).

Banyak yang salah tafsir, bela diri diandaikan kekerasan seperti yang sering ditampilkan dalam film-film Kungfu.

Dalam Taichi konsep tidak melawan, tidak defensif justru memberi makna pada gerak mengalir tanpa putus untuk keseimbangan, fokus, koordinasi dan keserempakan yang menjadi dasar selama berlatih.

Hal yang tak akan dapat dipahami tanpa melakukannya, dan tidak mungkin dipelajari maknanya jika hanya melihat tayangan lalu meniru.

Konsep bela diri tanpa perlawanan membawa manfaat besar secara emosional – saat tantangan, musuh atau serangan datang di masa senja bukan sebagai figur fisik yang terlihat, tapi muncul dalam bentuk krisis ekonomi, konflik keluarga atau pertemanan hingga masalah penyakit.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Barangkali kita masih perlu belajar banyak dari mereka, memang. Sebab di ibukota propinsi dari desa kecil ini saja, terlihat fokus pembangunan begitu menggema, rakyat tidak dibiarkan menganggur atau tidur seadanya.

Perumahan serius didirikan di tempat-tempat yang strategis terjangkau, bukan di lempar ke pinggiran tanpa jangkauan transportasi.

Tidak harus melawan kapitalisme dan perang dagang iklan, pemerintah kotanya membiasakan iklan tertib di program televisi dan media online tanpa harus mengotori kota dengan spanduk dan billboard.

Anak-anak tumbuh besar dengan didikan rumah yang membiasakan makan sehat, tanpa tergiur dengan gambar iklan sepanjang jalan penuh makanan kemasan – karena iklannya tidak ada.

Belajar sampai negeri China, bukan hanya soal kisah sukses, tapi jatuh bangun dan kekonyolan yang mereka alami – agar kita tidak napak tilas menghabiskan waktu, mengorbankan generasi yang (mestinya) unggul.

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com