Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China

Kompas.com - 05/10/2019, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saya menulis ini saat musim gugur masih cukup panas di Tiongkok tengah, tepatnya di desa kecil di Propinsi Henan.

Tiga tahun yang lalu, saya menjejakkan kaki pertama kalinya di tempat ini. Awalnya hanya didorong rasa ingin tahu, mengapa orang dari seluruh penjuru dunia harus kemari untuk belajar Taichi – yang kebetulan dipelopori oleh dinasti keluarga bermarga sama seperti saya, Chen (di Indonesia, marga Chen dikenal sebagai “Tan” – karena dialek etnik Hokkian).

Di desa ini, semua kepala keluarga bermarga Chen. Karenanya disebut ‘Chen Jia Gou’ – desa dimana rumah-rumah marga Chen berada.

Yang pasti, leluhur saya bukan berasal dari tempat ini. Ceritanya saja sudah tidak pernah ada yang tahu.

Enam generasi di atas ayah sudah tercatat ada di Jawa, tepatnya Tegal. Begitu pula hasil telusur silsilah ibu saya yang tersebar dari Batavia hingga Semarang sekian generasi berabad yang lalu.

Baca juga: Ketika Tips Kesehatan Berujung Pembodohan

Di tempat ini, saya justru merasa seperti orang asing berwajah tidak asing. Mereka mengenali saya sebagai orang China karena kemiripan wajah, tapi bahasa saya sama sekali tidak dipahami.

Rasa frustrasi agak terobati, saat beberapa pendatang dari negri lain mulai menyapa dalam bahasa Inggris. Minoritas rasa mayoritas, kata orang.

Yang kocak, saat kembali ke tanah air – Indonesia – kadang sensasi kebalikannya terjadi: mayoritas rasa minoritas.

Ya sudahlah, kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam rupa etnik apa, tapi merupakan suatu pilihan jelas kita akan mati sebagai bangsa apa.

Dengan penduduk hampir menyentuh 1,4 milyar manusia, Tiongkok melakukan perubahan drastis yang tidak mampu saya bayangkan dalam bentuk program apa pun.

Baca juga: Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?

Kita merdeka 4 tahun lebih dahulu dari mereka, dengan situasi awal yang hampir mirip – rakyat masih buang air dimana-mana, kemiskinan amat terasa, edukasi amat minim, bahkan di tahun 1990 prevalensi stunting balita mereka masih 33.1% sesuai data UNICEF dan China Food and Nutrition Surveillance System, jauh di atas batas negara “aman dari stunting”: 20%.

Kerja keras mereka menekan stunting ini berbuah hasil di tahun 2013 dengan prevalensi tinggal 8.1% saja.

Bahkan dari studi Yi Song dan Prochaska yang diterbitkan oleh International Journal of Obesity 2019, tercatat prevalensi stunting tinggal 2.3% di tahun 2014.

Artinya, jika di Indonesia kita bisa temukan 3 dari 10 anak menderita stunting, maka di negri tirai bambu ini hanya ada 2 kasus stunting dari 100 anak balita. Angka yang mencengangkan sekaligus membuat iri lahir bathin.

Sayangnya, saya tidak punya akses untuk mendalami lebih jauh secara ofisial, karena kedatangan saya memang bukan untuk itu.

Baca juga: Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan: Di Dunia Manakah Kita?

Sebagai awam, yang bisa diamati adalah apa yang mereka makan sehari-hari di padepokan-padepokan Taichi.

Di desa ini, tidak ada sejengkal pun tanah menganggur tanpa ditanami sayur dan buah yang biasa mereka konsumsi. Bukan untuk dijual.

Sekali pun tanahnya tidak sesubur Nusantara, umbi-umbiannya tidak sebanyak yang kita punya, nampak mereka bangga dengan apa yang dimiliki.

Setiap sarapan, makan siang dan malam, umbi yang dikenal sebagai “San Yao” muncul satu baki penuh.

Dikenal sebagai talas China (Chinese Yam) rasa san yao bisa disebut gabungan antara ubi kuning dan kentang. Agak hambar, berbeda jauh dengan ubi merah jingga, ungu, apalagi ubi Cilembu.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Namun san yao mempunyai banyak medali sebagai bahan pangan kaya gizi. Mengandung diosgenin, sebagai steroid dan fito estrogen membuatnya mampu mencegah keluhan pasca menopause dan gangguan haid.

Selain itu juga kaya akan allantoin yang mempercepat pertumbuhan jaringan sehat dan mempersingkat waktu penyembuhan pada luka.

Antioksidan serta berbagai kandungan mineralnya memerbaiki fungsi hati, ginjal sekaligus mencegah keropos tulang.

Mendengar hal di atas, bisa jadi orang Indonesia akan berebut memborongnya, bahkan mulai menjual sebagai ‘obat’ dan menayangkannya secara bombastis di lapak-lapak media online.

Bahkan bila perlu dibuat bubuk, diaduk bercampur cendol manis legit atau kopi sebagai minuman kekinian dengan klaim anti penuaan dini. Seperti yang sudah terjadi dengan daun kelor.

Fenomena seperti di atas sama sekali tidak terjadi di desa tenang ini. Hidup berjalan dengan santun, jauh dari keriuhan istilah ‘kekinian’ – sekali pun mereka terbiasa bicara keras mirip orang bertengkar.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Tanpa merasa harus disuplai pemerintah dengan tabung gas, mereka masih memasak untuk ratusan orang pendatang dengan tungku arang.

San yao dihidangkan sebagai rebusan, bersama dengan gulungan roti gandum mereka yang bertekstur kasar dan kusam, ditambah bubur millet encer.

Tidak ada gorengan sama sekali. Tapi tumisan berkuah campuran kembang kol atau kembang tahu dan jamur kuping saja rasanya sudah nikmat.

Kadang jika mujur, ayam muncul sebagai menu favorit, berupa semur encer dengan banyak buncis, rebung, dan daun kol atau akar teratai. Apel, semangka selalu tersedia.

Saya tertegun melihat salah seorang peserta latih termuda, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, yang datang jauh-jauh dari propinsi Hebei, melahap semua lauk sayur dan buahnya banyak-banyak di meja makan sendirian – tanpa ada pendampingan orang tuanya.

Dengan bahasa Cina terpatah-patah yang amat payah diselingi kode Tarzan, saya berusaha menggali lebih banyak tentang bocah bertubuh bagus ini, yang ternyata sudah berlatih Taichi bertahun-tahun sejak kecil sebagai anak tunggal.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Ketika Taichi dipraktekkan di Indonesia sebagai ‘olah raga’ dan gerakan-gerakan yang bisa jadi tidak dipahami maknanya, di tanah asalnya Taichi adalah bagian dari gaya hidup.

Taichi adalah penggabungan konsep Dao (Tao) Yin, latihan yang mengintegrasikan gerak, pemupukan chi, dan olah napas sebagaimana para rahib Tao menjalaninya - dengan penambahan seni bela diri (martial arts).

Banyak yang salah tafsir, bela diri diandaikan kekerasan seperti yang sering ditampilkan dalam film-film Kungfu.

Dalam Taichi konsep tidak melawan, tidak defensif justru memberi makna pada gerak mengalir tanpa putus untuk keseimbangan, fokus, koordinasi dan keserempakan yang menjadi dasar selama berlatih.

Hal yang tak akan dapat dipahami tanpa melakukannya, dan tidak mungkin dipelajari maknanya jika hanya melihat tayangan lalu meniru.

Konsep bela diri tanpa perlawanan membawa manfaat besar secara emosional – saat tantangan, musuh atau serangan datang di masa senja bukan sebagai figur fisik yang terlihat, tapi muncul dalam bentuk krisis ekonomi, konflik keluarga atau pertemanan hingga masalah penyakit.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Barangkali kita masih perlu belajar banyak dari mereka, memang. Sebab di ibukota propinsi dari desa kecil ini saja, terlihat fokus pembangunan begitu menggema, rakyat tidak dibiarkan menganggur atau tidur seadanya.

Perumahan serius didirikan di tempat-tempat yang strategis terjangkau, bukan di lempar ke pinggiran tanpa jangkauan transportasi.

Tidak harus melawan kapitalisme dan perang dagang iklan, pemerintah kotanya membiasakan iklan tertib di program televisi dan media online tanpa harus mengotori kota dengan spanduk dan billboard.

Anak-anak tumbuh besar dengan didikan rumah yang membiasakan makan sehat, tanpa tergiur dengan gambar iklan sepanjang jalan penuh makanan kemasan – karena iklannya tidak ada.

Belajar sampai negeri China, bukan hanya soal kisah sukses, tapi jatuh bangun dan kekonyolan yang mereka alami – agar kita tidak napak tilas menghabiskan waktu, mengorbankan generasi yang (mestinya) unggul.

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com