Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan Tiga Kali Lebih Rentan Stres daripada Laki-Laki, Mengapa?

Kompas.com - 07/10/2019, 17:24 WIB
Nabilla Tashandra,
Wisnubrata

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah stres sepertinya sudah cukup umum terjadi di masyarakat saat ini. Hal itu dibuktikan oleh berbagai studi ilmiah.

Pakar Ilmu Sosial, Budaya dan Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Devie Rahmawati,l, S.Sos., M.Hum., CPR menjelaskan, sejak 1986 hingga saat ini, data menunjukkan bahwa manusia modern lima kali lebih stres daripada manusia di era sebelumnya, khususnya perempuan.

"Ini menjadi problem dunia," kata Devie dalam talkshow kampanye #TakTerhentikan oleh Sunsilk di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2019).

Kelompok yang paling rentan adalah remaja. Sebab, remaja dinilai belum memiliki banyak pengalaman sehingga mereka tidak punya banyak referensi.

Hal itu membuat kelompok usia tersebut mudah terjerumus ke arah yang buruk. Bahkan kemungkinan terburuknya, jika orang merasa benar-benar sendiri saat mengalami stres, mereka bisa mengalami depresi dan berujung pada mengakhiri nyawa.

Ternyata, perempuan tiga kali lebih rentan stres daripada laki-laki. Setidaknya, ada tiga faktor yang melatarbelakangi fakta tersebut. Tiga faktor itu di antaranya:

1. Faktor biologis

Pubertas saat ini semakin dini. Bukan hal baru jika siswi yang baru masuk Sekolah Dasar sudah mengalami menstruasi. Dinamika hormonal ini membuat perempuan secara internal jauh lebih stres daripada laki-laki.

Devie menjelaskan, ketika hormon sedang bergejolak, seseorang memerlukan orang lain untuk mendampingi agar mereka tidak berjalan tanpa arah.

"Oleh karena itu peran guru-guru dan orangtua penting. Mereka seperti balon yang punya energi, tapi lepas kemana-mana tanpa arah. Makanya (balon itu) perlu ditarik agar jalannya terarah," kata Devie.

2. Faktor psikologis

Budaya digital membuat banyak orang seolah menjadi "zombie". Sebab mereka hadir tanpa tahu tujuan hidup yang sebenarnya.

"Karena hidup menjadi bergantung pada validitas sosial. Setiap hari terobsesi untuk bisa dapat likes sebanyak-banyaknya. Jadi tidak fokus memberdayakan diri," ucapnya.

Di samping itu, manusia memang merupakan makhluk egois dan selalu ingin lebih baik dari orang lain.

Sayangnya, budaya digital membuat kita justru banyak melihat orang lain yang seolah lebih hebat dibandingkan kita.

"Yang liburan terus, gonta-ganti handphone, gonta-ganti pacar, dandanannya keren."

"Dia ingin jadi lebih baik tapi ternyata lihat sekeliling kok keren semua. Itu membuat anak-anak menjadi stres. Padahal belum tentu kerennya benar," ucap Kepala PR Program Studi Vokasi UI itu.

3. Faktor sosiologis

Meski dikelilingi oleh teknologi yang serba canggih, namun nilai-nilai yang dipegang oleh remaja saat ini masih merupakan nilai-nilai konvensional. Banyak orang lebih cenderung fokus pada penampilan dirinya.

Kehadiran media sosial membuat mereka semakin sering membandingkan diri dengan orang lain.

Jika hal itu terjadi, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mereka akan fight alias berjuang untuk menjadi yang terbaik.

Kedua, mereka akan mengelabui publik untuk menjadi yang terbaik, misalnya menggunakan teknologi yang membuat mereka tampak sempurna dalam foto.

Terakhir, depresi semakin parah.

"Karena dia merasa enggak ada yang bantu. Walaupun (postingan) ramai dengan likes, punya banyak followers, tapi dia sebenarnya sendirian. Karena ketika dia stres memangnya followers bisa diajak ngobrol? Followers akan sibuk dengan dirinya sendiri," ucap Devie.

Hal ini bisa dicegah dengan banyak hal. Misalnya, dengan membuat komunitas bersama dengan kegiatan yang positif.

Selain itu, kita juga harus bisa menjadi pribadi yang mampu mendengarkan ketika ada seseorang yang mau menumpahkan isi kepalanya pada kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com