KOMPAS.com - Kegagalan program bayi tabung (In Vitro Fertilization/IVF) kebanyakan terjadi saat proses implantasi atau penanaman embrio pada rahim. Teknologi terkini bisa menekan risiko kegagalannya.
Ada beragam penyebab embrio tidak bisa menempel di rahim. Faktor terbesarnya adalah kelainan kromosom.
"Sekitar 60-70 persen karena kromosomnya tidak normal. Faktor lain bisa karena rahimnya tidak reseptif, rahimnya kurang tebal, atau aliran darahnya kurang baik," tutur dr.Arie Adrianus Polim, Sp.OG, dari Morula IVF Jakarta.
Ia mengatakan, kebetalan rahim atau aliran darah bisa dinilai sebelum proses implantasi. Sehingga jika kondisinya kruang baik maka embrio tidak diimplan dulu.
"Faktor lainnya adalah karena hormonnya terlalu tinggi. Kondisi itu juga enggak bagus untuk penanaman embrio," ujarnya.
Sementara itu, embrio yang perkembangannya kurang optimal, biasanya karena faktor kromosom, juga membuat program IVF menjadi gagal.
Untuk menilai kondisi kromosom embrio perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Salah satunya dengan PGT-A (Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy).
Jika tanpa pemeriksaan ini, embrio hanya dinilai berdasarkan bentuk luarnya saja. Namun, sebenarnya penilaian itu tidak bisa mengetahui kondisi kromosomnya.
Baca juga: Tak Perlu Ragu Ikut Program Bayi Tabung di Indonesia
Pemeriksaan PGT-A menggunakan teknologi Next Generation Sequencing (NGS) yang dilakukan sebelum transfer embrio atau penanaman kembali embrio ke dalam rahim yang terbukti memberikan dampak positif bagi kesuksesan program IVF.
"Dengan PGT-A, hampir 90 persen kondisi embrio bisa diketahui. Bisa diseleksi mana embrio yang paling bagus untuk diimplan. Jadi angka keberhasilannya otomatis juga naik, bisa sampai 70 persen," papar Arie.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.