Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bhineka Literasi Nutrisi Jadi Ancaman Integrasi

Kompas.com - 13/10/2019, 13:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya, “Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China”. Perjalanan saya menelusuri desa Taichi, Chen Jia Gou belumlah usai.

Sekali pun hanya menguasai beberapa kata terpatah-patah, wajah oriental saya memberi kemudahan untuk blusukan keluar masuk toko, warung, mengamati dagangan mereka tanpa diikuti tatapan curiga.

Barangkali propinsi Henan dengan ibukotanya Zhengzhou terlalu ‘sempurna’ untuk dijadikan percontohan gaya hidup.

Terlalu rapi, terlalu ramah anak, terlalu bersih, terlalu rutin bergerak, terlalu banyak makanan sehat hingga ke pelosok desanya.

Namun, orang akan salah sangka dengan drastisnya pemerintah Tiongkok menekan angka stunting secara fantastis dari 33% di era tahun 90 menjadi 2.3% saat ini dikira masa depan generasi penerus mereka akan gilang gemilang.

Di balik tirai bambu, upaya menekan angka stunting ternyata menyisakan ancaman baru yang tak kalah mengerikannya.

Baca juga: Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China

Apabila UNICEF Indonesia masih pusing mengentaskan stunting dan balita dengan berat badan kurang, maka UNICEF China dibuat pening dengan meledaknya obesitas anak dari 5.3% pada 1995 menjadi 20.4% di tahun 2014, sebagaimana disebutkan dalam studi Yi Song dan Prochaska yang dimuat dalam International Journal of Obesity. Artinya, 1 dari 5 anak China mempunyai bobot lebih.

Dalam kurun waktu 20 tahun, peningkatan obesitas 4 kali lipat pada anak usia sekolah sama sekali bukan kabar baik.

Ada ‘sesuatu yang salah’ dengan program pengentasan kemiskinan sekaligus penuntasan gizi buruk pada usia tumbuh kembang.

Apa yang terjadi di komunitas? Sementara cakupan ASI eksklusif nasional begitu buruknya dibawah 30%, tepatnya hanya 29,2%, sejak formula pengganti ASI mulai meroket di tahun 1970an.

Bahkan, di tahun 2014 WHO mencatat para ibu di kota besar China hanya 16% saja yang masih memberikan ASI ekslusif. Target bombastis mereka sebesar 80% tidak pernah tercapai hingga hari ini.

Baca juga: Ketika Tips Kesehatan Berujung Pembodohan

 

Di Indonesia sendiri, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018 tercatat proporsi balita kegemukan 11,8%. Dengan rentang 8,5% di NTB dan 15% di Papua.

Sementara prevalensi obesitas dewasa di atas 18 tahun juga meningkat dari 14,8% pada 2013 jadi 21,8% di tahun 2018, paling tinggi di propinsi Sulawesi Utara 30,2% diikuti DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Papua Barat.

Kabar baiknya, cakupan ASI eksklusif kita sebesar 37,2% masih lebih baik dari China - walaupun masih jauh dari target WHO: minimal 50%.

Berkaca dari angka-angka di atas dan perjalanannya, barangkali kita harus mulai melakukan introspeksi sekaligus kerja keras tanpa harus kunjungan kerja ke negri China – yang bisa jadi hanya berkeliling di tempat yang salah, dan mengambil potret yang keliru.

Sebab bicara soal nutrisi dan gaya hidup, dampak global adalah jawabannya. Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekonomi (sekaligus kebutuhan) keluarga, maka ada nilai tradisi yang luntur serta keutamaan yang hilang.

Baca juga: Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?

Budaya China mengenal ‘zuo yuezi’ – yaitu saat seorang perempuan pasca melahirkan selama 30 hari tidak boleh keluar rumah, yang sebetulnya rentang waktu bukan hanya untuk memulihkan diri tetapi juga membiasakannya mengurus anak termasuk menyusui.

Di tanah air, mungkin mirip budaya Jawa ‘selapanan’ yang khusus dihajatkan setelah 35 hari kelahiran sang bayi – hanya saja penekanan lebih pada ritual dan doa-doa harapan masa depan bayinya, bukan tentang bagaimana pengasuhan seharusnya.

Budaya praktis yang dibawa era baru ekonomi dan teknologi yang dikunyah mentah-mentah, membuat masalah baru.

Literasi soal hidup sehat campur aduk bahkan terjadi kekacauan berjenjang. Tayangan-tayangan iklan yang murni bicara bisnis memamerkan cara hidup baru.

Begitu meyakinkannya, hingga orang-orang dengan edukasi tinggi tapi minim nalar kesehatan ikut terlena dan masuk ke dalam arus deras industri kemasan berisi makanan dan minuman.

Pasar tradisional berganti rupa menjadi swalayan mewah dan gerai-gerai pusat jajan yang menjual aneka pengisi perut model baru, memberi lapangan kerja baru sekaligus masalah baru.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

 

Anak-anak merengek minta dibelikan kecanduan rasa manis dan gurihnya, remaja saling diadu sebagai bintang iklan, gratis memasarkan produk-produk teranyar di media sosial dengan upah pembelian gratis berulang yang tak seberapa harganya dibanding raupan untung si pengusaha.

Para orangtua terlena hidup praktis tanpa harus berpeluh di dapur dan putar otak memilih menu sarapan – karena semua sudah disediakan di etalase kaca siap saji sambil jalan pulang dari kantor.

Kota-kota besar supermetropolitan seperti Beijing dan Shanghai memberi gambaran yang amat sangat berbeda dengan desa di mana saya berada saat ini.

Ketika orang masih nyaman masak dengan tungku arang dan tidak ada secuil pun sampah pangan kemasan di pinggir jalan.

Pemilik warung-warung kecil itu pun menjual kemasan awalnya karena kebutuhan turis, yang mencari mi instan – fangbian mien – yang terjemahan aslinya berarti mie ‘praktis’.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Orang lokal tidak menyukai rasanya karena aneh atau seperti yang saya pikirkan sambil tertawa dalam hati: kurang ribet membuatnya.

Mereka menyukai rasa asli, campuran sayur segar asli, kocokan telur dan irisan tomat besar-besar. Sama sekali jauh dari praktis, tapi di situ seninya masak dan makan.

Tak mengherankan angka cakupan ASI di pedesaan juga jauh lebih besar ketimbang kota besar. Keaslian mutu dan rasa, itu kuncinya.

Mungkin terinspirasi terbitan jurnal kedokteran bergengsi Lancet di tahun 2013 yang menyatakan tingginya cakupan ASI eksklusif lebih penting ketimbang perbaikan sanitasi untuk mencegah kesakitan dan kematian bayi di negara berkembang, pemerintah China pernah memberlakukan denda cukup besar terhadap 6 produsen susu formula, 5 di antaranya milik asing.

Undang-undang berlaku atas nama kesehatan masyarakat, dengan memperketat aturan iklan, melarang pemberian contoh cuma-cuma di semua rumah sakit dan layanan kesehatan komunitas.

Baca juga: Ketika Menyusui Hanya Sekedar Memberi ASI

 

Walaupun pemerintahnya dikenal keras, tegas tanpa pandang bulu, dengan promosi dan opini publik yang sudah terlanjur dibangun tentang hidup nyaman dan sejuta kebaikan susu, akibatnya orang-orang China saat ini memiliki julukan sebagai pengimpor susu formula dan susu pertumbuhan yang membuat harga jual kacau di banyak negara.

Ketika Indonesia mengenal istilah ‘jasa titipan’ untuk aneka barang mewah, para mahasiswa China di Australia sudah lebih dahulu mempelopori ‘jastip’ untuk memborong berkaleng-kaleng susu formula.

Penduduk Australia sendiri menjadi marah dan protes besar-besaran dengan raibnya susu kaleng di berbagai swalayan.

“Terpental” dari kondisi stunting menjadi malapetaka obesitas di usia muda adalah hal yang amat menakutkan.

Baca juga: Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?

Anak-anak yang sudah terlanjur mempunya referensi (acuan) dan preferensi (pilihan) rasa serta kecanduan, tidak bisa begitu saja diubah seperti membalikkan telapak tangan.

Obesitas mengundang rentetan risiko penyakit yang penanganannya jauh dari kata murah dan mudah.

Diabetes, hipertensi, stroke, serangan jantung hingga kanker tidak akan membutuh penderitanya seketika.

Bahkan dalam keadaan cuci darah yang tak akan selesai seumur hidup itu pun, penderitanya akan masih didera dengan kecanduan makanan-makanan yang telah membuatnya sengsara.

Kita memang harus belajar banyak sampai ke negeri China. Sambil menyadari bahwa kita tidak mungkin setegas mereka dalam memberi sanksi dan hukuman.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Rakyat sudah merasakan hukuman yang mereka buat sendiri, dengan penderitaan penyakit menahun.

Sudah waktunya beragam literasi seputar nutrisi harus diselesaikan. Selama ini yang kita ributkan baru kebhinekaan yang kita pelihara dari apa yang nampak di luar – mulai dari bentuk mata, warna kulit, hingga prinsip menjalani hidup.

Namun jika kebhinekaan itu terbawa di masalah literasi nutrisi, maka urusannya jadi panjang, karena kepentingan akan bermain.

Setiap individu wajib paham apa asupan yang seharusnya dan mana yang harus dihilangkan dari daftar kecanduan.

Mempersatukan kebhinekaan literasi nutrisi sebetulnya amat mudah: Menyusui secara eksklusif perlu menjadi prioritas, agar formula kembali ke ranahnya.

Mendidik seorang ibu hamil untuk bisa terampil menyusui dan membuat makanan keluarga sendiri jauh lebih mudah dan murah, ketimbang menghadapi ratapannya saat sang bayi sakit, kurang gizi atau malah kelebihan kalori.

Stunting belum lah mampu kita tuntaskan, apakah obesitas sudah menghadang di depan bonus demografi?

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com