Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isu Pelecehan Seksual "Hantui" Produk Ternama Lululemon...

Kompas.com - 16/10/2019, 11:54 WIB
Glori K. Wadrianto

Editor

KOMPAS.com - Jika kamu pecinta olahraga yoga, bisa jadi kamu pernah mendengar atau bahkan mendengar merek Lululemon.

Lululemon yang telah menjadi merek papan atas untuk fesyen olahraga -tak hanya yoga, tapi pun lari dan Crossfit, berdiri di Kanada, di bawah grup Lululemon Athletica inc.

Namun sayangnya, di balik kebesaran nama Lululemon, belakang berhembus kabar tak sedap mengenai persoalan ketenagakerjaan.

Para buruh di Banglades yang dipekerjakan oleh Youngone Corporation, pabrik yang memproduksi pakaian olahraga Lululemon, mengaku mengalami pelecehan verbal dan fisik saat bekerja.

Dalam sebuah laporan yang dirilis laman the Guardian terungkap bahwa para pekerja mendapat bayaran kira-kira Rp 1,5 juta per bulan.

Baca juga: 3 Manfaat Yoga bagi Pasien Penyakit Kronis

Besaran honor tersebut kurang dari harga sebuah legging Lululemon, yang dijual hingga Rp 2,6 juta per buah.

Para buruh perempuan mengaku mengalami pelecehan seksual, dengan disebut sebagai pelacur.

Mereka juga dipaksa bekerja meskipun sedang berada dalam kondisi kesehatan yang buruk.

Bahkan, ada seorang buruh yang mengaku ditampar karena meninggalkan pekerjaan lebih awal, setelah merasa tidak sehat.

Didirikan pada 1998 oleh miliarder Kanada, Chip Wilson, Lululemon sangat populer di kalangan selebritas dan influencer.

Diperkirakan, Lululemon menghasilkan pemasukan hingga 3,8 miliar dollar AS dalam penjualan tahun 2019.

Di situs web-nya, Lululemon menyatakan ingin menciptakan pusat komunitas, di mana orang dapat belajar dan mendiskusikan aspek fisik dari hidup sehat, perhatian, dan menjalani kehidupan yang sehat pula.

Lululemon bahkan telah menjalin kemitraan dengan PBB dalam upaya mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesehatan mental pekerja.

Baca juga: Meghan Markle Diam-diam Ikut Kelas Yoga di New York

Namun ini bukan pertama kalinya praktik Lululemon dirasa bertentangan dengan branding yang dikumandangkan.

Pada 2013, perusahaan itu dikritik karena menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menandatangani Kesepakatan Keselamatan (kerja) Banglades.

Pemerintah setempat mengeluarkan model kesepakatan itu pasca bencana pabrik di Banglades yang menewaskan lebih dari 1.130 orang.

Tentang tudingan pelecehan dan pemaksaan kerja, Youngone Corporation sudah mengeluarkan pernyataannya kepada the Guardian.

Mereka mengaku berkomitmen untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan adil, dengan meluncurkan upaya peninjauan internal.

Seorang juru bicara Lululemon mengatakan kepada laman Dazed, "kami menanggapi tuduhan ini dengan sangat serius, dan kami berkomitmen untuk menggelar penyelidikan penuh dan independen."

Lululemon bukan label mode pertama yang menghadapi reaksi keras atas tuduhan terkait aspek ketenagakerjaan.

Pada 2014 seorang pembeli Primark menemukan label "cry for help" yang dijahit di baju seharga Rp 181 ribu.

Lalu, sebuah laporan awal tahun ini menemukan dugaan kekerasan dan pelecehan berbasis gender terhadap buruh, yang terjadi di tiga pabrik di Lesotho, Afrika Selatan.

Baca juga: Kembali Melantai di Bursa, Saham Levi Strauss Melonjak 30 persen

Pelanggan pabrik itu termasuk merek denim Amerika Serikat Levi Strauss, Calvin Klein, dan Wrangler.

Merek besar seperti Lululemon, mempromosikan dan mengambil untung dari fenomena kesejahteraan yang sedang berkembang.

Namun, laporan semacam ini membuktikan bahwa konsumen tidak boleh dibutakan oleh perusahaan bernilai miliaran dolar AS, dan merek yang terlihat berkelas.

Lihatlah leihjauh bagaimana mereka memperlakukan buruh, dengan munculnya tuduhan pelecehan sistemik di tengah industri fesyen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com