Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sosok Presiden SBY Hadir dalam Mimpi, Awali Kisah Kopi Kadiran...

Kompas.com - 17/10/2019, 11:54 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Embusan angin masuk ke sela-sela jendela mobil. Segar dan menenangkan, seiring dengan pemandangan rindangnya pepohonan di kiri-kanan jalan.

Dalam perjalanan menuju Gunung Susuru, Kaduluwung Situraja, Sumedang, Minggu (13/10/2019), Kompas.com nyaris tak melihat kendaraan lain.

Yang terlihat hanya lebatnya hutan dan mulusnya jalan aspal kecil.

Baca juga: Berbekal Sakit Hati, Kopi Kadiran dari Sumedang Melesat ke Mancanegara

Di ujung jalan terdapat satu rumah bilik yang dilengkapi saung, kolam ikan, dengan air gunung yang mengalir deras meski musim kemarau.

“Jalan bagusnya cuma sampai situ, deket. Sisanya mah jelek,” ujar sang pemilik rumah, Shaleh Raspan sambil menunjuk ke arah jalan.

Shaleh mengatakan, jalan mulus itu dibuat, salah satunya, karena kehadiran Kopi Kadiran yang diproduksinya.

Sejak memutuskan masuk ke industri hilir, nama Kadiran melejit.

Tak hanya di Sumedang, kopinya sudah masuk ke Australia, Jerman, Jepang, Amerika, Singapura, Pakistan, dan lainnya.

Menanam Kopi

Kopi Buhun Kadiran.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Kopi Buhun Kadiran.
Shaleh menceritakan awal mula "lahirnya" Kadiran.

Pada tahun 1990-an saat masih bertugas di PT Kereta Api Indonesia (KAI) ada seseorang yang menawarkan tanah dengan harga murah, Rp 800.000 per hektar.

Bermodalkan percaya, Shaleh membeli empat hektar tanah tersebut dengan harga lebih tinggi Rp 980.000 per hektar.

Syaratnya, si penjual harus menanami hutan tersebut dan membersihkan rumput liarnya.

Begitu ia mengecek tanah yang dibeli, ia terdiam. Tanah yang dibeli merupakan hutan.

Jangankan kendaraan, selama sepekan berada di sana, ia baru bertemu satu orang, yakni pemilik tanah di daerah tersebut.

Ia pun berpikir, apa yang akan dilakukannya setelah pensiun. Memasuki tahun 2005, setahun sebelum pensiun, ia meminta bibit kopi ke kerabatnya di Ciamis.

Baca juga: Manfaat Minum Kopi, Tidak Hanya Penahan Kantuk

Bibit itu lalu disemai di pinggir Kali Cibeunying lalu ditanam di tanah miliknya.

Setelah pensiun tahun 2006, ia pun lebih sering tinggal di Sumedang merawat kopinya, bertemankan sepinya hutan.

“Saya tidak belajar kopi, tapi keturunan petani kopi. Sejak kecil saya dekat dengan kopi dan sekarang menanam kopi dengan seluruh hati saya,” kata dia.

Suatu ketika, ia ingin memberi nama produknya. Ia berdoa empat hari empat malam hingga ia bermimpi bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam mimpinya, SBY berkata, “Saya sakit Pak Shaleh. Tunjukkan gubuk, tolong berikan saya kopi Kadiran."

Begitu terbangun, ia pun bertekad menamakan usaha kopinya Kadiran. Begitu ditelaah lebih jauh, Kadiran berarti yang berkuasa.

Hulu hingga Hilir

Teh kopi produksi Kopi Buhun Kadiran.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Teh kopi produksi Kopi Buhun Kadiran.
Seluruh hasil Kopi Buhun Kadiran biasanya digunakan sendiri, dan dijual ke pengepul dengan harga rendah, Rp 19.000 per kilogram.

Suatu hari ia membeli segelas kopi di salah satu kafe di Rancaekek, Kabupaten Bandung, harganya Rp 20.000 per gelas.

Lebih mengagetkan lagi, saat ia membeli segelas kopi Rp 50.000 di bandara.

Kenyataan itu membuatnya berpikir, betapa murah harga kopi yang dijualnya. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk berhenti menjual kopi dalam bentuk ceri dan green bean.

Ia kemudian mengolah sendiri kopinya. Uniknya, ia me-roasting (memanggang kopi mentah) dengan kayu bakar dari pohon kopi.

“Setelah 12 tahun, pohon kopi harus ditebang. Saya biasanya menebang satu sisi pohon dan dibiarkan hingga keluar sirung (pohon baru)."

"Pohon yang ditebang inilah yang dijadikan kayu bakar untuk roasting kopi,” ucap dia.

Cara yang dilakukannya dalam me-roasting pun terbilang unik. Ia mengacu pada asap untuk menentukan tingkat kematangan light, medium, dan dark roast kopi.

Baca juga: Jejak Kopi Indonesia di Negeri Para Dewa, Yunani...

“Saya melakukan semuanya sendiri, mulai dari menyemai, menanam, merawat, memanen, roasting, hingga membuat dan menyajikan kopi,” ucap dia.

Hasilnya, kopi robusta produksinya mengeluarkan wangi khas. Begitu dicicipi, kopi Kadiran mengeluarkan rasa fruity.

Jadi, meski robusta identik dengan rasa pahit manis, ada rasa asam yang biasanya hanya ada di arabika.

“Saat pameran, ada ahli kopi. Dia mengatakan, ada berbagai rasa buah-buahan dalam kopi Kadiran."

"Dia pun menyebut nama buah-buahan yang memang ada di kebun saya,” ucap dia.

Tak berhenti pada kopi original, Shaleh bersama anaknya, Taufik Rismawan, menciptakan sejumlah inovasi.

Mereka membuat wine coffee, cuka kopi, teh kopi, hingga kokelat atau cokelat yang berpadu kriuknya biji kopi.

Dikunjungi warga asing

Pemilik Kopi Buhun Kadiran, Shaleh Raspan.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Pemilik Kopi Buhun Kadiran, Shaleh Raspan.
Mencuatnya nama Kadiran di Sumedang membuat orang-orang penasaran tak terkecuali warga asing.

Beberapa kali Shaleh menerima tamu dari asing yang datang berkelompok.

Di Saung Kopi Buhun Kadiran, mereka diajak berkeliling melihat kebun kopi, persediaan kayu bakar pohon kopi yang digunakan untuk roasting, hingga penyajian.

Baca juga: Menyeruput Bikin Rasa Kopi Lebih Nikmat, Apa Alasannya?

“Mereka sangat suka karena di sini lengkap,” tutur Shaleh.

Ke depan, ia akan membuat kafe di dekat kebunnya. Ia ingin menciptakan pasar dan mengundang orang untuk melihat langsung produksi Kadiran.

Di tengah tumbuhnya bisnis Kadiran yang positif, Shaleh menaruh kegalauan. Ia bingung bagaimana menurunkan ilmunya, terutama dalam merawat pohon kopi dan roasting kopi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com