Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kesehatan atau Hiburan: Lebih Murah Mana?

Kompas.com - 03/11/2019, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Petinggi korporasi mengandaikan dengan membuat satu kali seminar, lalu tuntaslah tanggung jawab perusahaan untuk urusan promotif dan preventif penyakit seram-seram mulai dari stroke, kanker, gagal ginjal, dan serangan jantung.

Lebih konyol lagi, pengandaian ditambah dengan pertimbangan agar peserta tidak mengantuk dan bosan, maka selain narasumber kesehatan dihadirkan pula artis top – yang bukan hanya bikin gaduh, tapi justru membuyarkan fokus bahasan.

Di atas itu semua, yang lebih menyakitkan hati, honor si artis bisa lima hingga sepuluh kali lipat lebih besar dari uang jasa yang dikeluarkan untuk narasumber utamanya.

Kembali ke level rumah tangga, fenomena serupa terjadi. Uang yang dihabiskan untuk rekreasi dan hiburan (termasuk rokok – karena hanya untuk pemuasan kecanduan individual) jauh lebih besar ketimbang biaya membuat tubuh tetap sehat.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Biaya makan dan minum tidak bisa dikategorikan untuk memelihara tubuh, jika yang dimakan dan diminum justru akhirnya akan menjerumuskan diri ke dalam cengkraman penyakit yang tidak langsung muncul.

Belakangan ini saya lebih sering melihat orang makan dan minum sebagai sarana ‘rekreasi’. Ada kepuasan dan kebanggaan sekaligus saat orang bisa membeli makanan dan minuman yang sedang tren dan ‘hits’ – seakan-akan ia masuk dalam ‘kelompok itu’.

Remaja dan golongan milenial kebetulan mempunyai dahaga dan keharusan untuk bisa diterima eksistensinya – di mana eksistensi itu muncul dengan berbagai jenis barang konsumsi sebagai simbol.

Dan barang konsumsi yang paling murah sekaligus mudah didapat, tentunya adalah makanan dan minuman.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Jika dihitung-hitung, berbagai cara untuk merekreasikan diri apabila dijumlah dalam satu kurun waktu, mungkin bisa dijadikan uang muka rumah masa depan.

Sayangnya, sudah habis terkonsumsi yang ujung-ujungnya bahkan membuat konsumennya harus bayar dobel: karena rekreasi yang salah berakibat masalah kesehatan.

Belum lagi jika rekreasi yang salah itu memberi dampak adiksi. Yang mana adiksi tidak bisa dihabisi hanya lewat ceramah dan seminar.

Adiksi tidak selalu berupa narkoba, tapi kebiasaan baru yang menagih – setiap pulang kantor harus mampir beli minuman yang di zaman orang tuanya saja tidak dikenal. Tidak jelas isinya apa, pokoknya enak.

Dan lama-lama semua minuman yang wajar untuk tubuh seperti air dan teh tawar atau air kelapa malah terasa tidak enak – tepatnya kurang manis.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

Begitu pula dengan sekantong gorengan kekinian, dijual di mal, waralaba negeri seberang. Sedikit ‘lebih naik kasta’ ketimbang yang dijual di pinggir jalan dengan minyak curah yang berasal dari selokan, menurut salah seorang mantan menteri.

Sementara itu, kebutuhan nutrisi sesungguhnya ‘dihutang’ terus, sampai suatu saat tubuh menagih dengan cara yang tidak menyenangkan: mulai dari gangguan konsentrasi, mengantuk, mudah sakit kepala, hingga kelebihan lingkar perut yang membuat pilihan model baju jadi terbatas.

Itu masih belum seberapa. Yang lebih horor, belakangan ini pasangan muda dihantui infertilitas, alias kesulitan menghasilkan keturunan.

Mulai dari kualitas sperma yang buruk hingga sang wanita menderita PCOS - PolyCystic Ovary Syndrome.

Dokter kandungan menggambarkan munculnya kista kecil-kecil dalam indung telur, dengan gangguan hormon, yang mengakibatkan terganggunya pematangan sel telur untuk siap dibuahi.

Kesehatan yang diperlakukan ‘murahan’, akhirnya berujung lebih mahal. Urusannya sepele, karena tubuh tidak dihargai dan dihormati sebagaimana seharusnya.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com