Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/11/2019, 11:50 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Mental habit atau kebiasaan mental tidak tertanam sejak kita lahir, melainkan terbentuk dari bagaimana kita mengartikan sebuah peristiwa, pikiran, hingga respon kita pada perlakuan yang diterima dari lingkungan.

Ketika seseorang lebih banyak mengalami masa-masa yang berat, sebagian memilih untuk menjadi lebih negatif dan pahit, ketimbang bersikap penuh harapan. Para ahli kesehatan mental mengatakan sebenarnya kita punya pilihan untuk memiliki kebiasaan mental tertentu. Kebahagiaan ada di tangan kita.

Berikut adalah 7 mental habit yang membuat kita semakin jauh dari rasa bahagia:

1. Tak memaafkan orang lain
Kebanyakan orang menyamakan memaafkan dengan melupakan sesuatu yang terjadi atau mengatakan bahwa yang terjadi baik-baik saja. Biasanya mereka mengklaim sudah memaafkan seseorang atau sesuatu, padahal faktanya belum.

Memaafkan yang sebenarnya adalah membiarkan diri kita bebas dari kebencian dan dendam karena sesuatu tidak sesuai keinginan atau menerima yang terjadi, dan meyakinkan diri kita layak untuk move on.

Memaafkan tidak berarti mengurangi kesalahan tindakan seseorang. Tetapi membiarkan kita untuk tak lagi merasa sakit karenanya.

Baca juga: Apakah Mungkin untuk Memaafkan dan Melupakan Seseorang?

2. Tak memaafkan diri sendiri
Kebiasaan mental lain yang harus kita jauhkan adalah tidak memaafkan diri, tidak membiarkan kita bergerak maju dari kesalahan sendiri. Penyesalan, rasa malu, dan bersalah akibat sebuah kesalahan bisa menghantui hidup kita.

Rasa bersalah berlebihan akan memicu pikiran negatif, stres, dan pola pikir pesimis yang akhirnya membuat kita memiliki pandangan yang pahit pada dunia. Ini semua karena kita merasa kita tak layak untuk merasa bahagia.

3. Banyak memikirkan atau tidak sama sekali
Terlalu sering memikirkan sesuatu atau tidak sama sekali, ternyata menyebabkan timbulnya beragam kondisi psikologi yang tidak sehat. Mulai dari rasa panik, self-esteem rendah, hingga perfeksionis.

Terlalu sering memikirkan atau tidak sama sekali, akan membuat pikiran kita seolah lebih nyata. Ini akan membuat pikiran negatif menjadi lebih besar dari kenyataannya. Pikiran kita akan fokus pada sesuatu yang salah ketimbang yang benar, dan ini akan membuat kita melihat keburukan orang lain.

Baca juga: Gangguan Mental pada Anak, Bagaimana Cara Mengatasinya?

IlustrasiShutterstock Ilustrasi

4. Menetapkan standar tinggi pada orang lain
Bila kita selalu merasa kecewa dan terganggu oleh orang-orang di sekitar kita, ini bisa berarti kita tidak diperlakukan sebagaimana selayaknya. Ini juga berarti kita memilih untuk berada dengan orang yang kurang sesuai. Kemungkinan lain, kita menetapkan standar yang tinggi untuk perilaku orang lain tapi tidak kita terapkan pada diri sendiri.

Coba amati apa yang terjadi ketika kita selalu merasa frustasi dengan seseorang. Apakah kita memandang sesuatu secara hitam putih? Apakah kita melihat gambaran sebuah peristiwa secara utuh? Memiliki rasa empati pada orang lain sangat ampuh untuk menghilangkan kemarahan.

5. Tak yakin semua akan membaik
Perasaan tidak berdaya yang parah sangat berbahaya karena akan meningkatkan risiko depresi. Kita akan memandang dunia adalah tempat yang buruk dan tak akan pernah membaik.

Jika kita mau sejenak merenungkan perjalanan hidup kita, akan selalu ada naik turun, tetapi toh kita bisa melaluinya. Selalu ada hal-hal yang patut kita syukuri setiap hari. Memang dibutuhkan latihan untuk melakukannya, tetapi akan selalu ada hal yang kita syukuri.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama

6. Membandingkan diri dengan orang lain
Di era media sosial ini, sangat mudah membandingkan diri dengan orang lain. Melihat apa yang sudah dicapai oleh teman kita yang berada di atas. Kita lupa bahwa apa yang ditampilkan seseorang di media sosial adalah citra yang ingin ia bentuk. Yang kita lihat hanyalah permukaan.

Mengukur diri sendiri berdasarkan ukuran orang lain adalah subjektif dan hanya memberikan tekanan.

7. Merasa tak punya kendali
Tak sedikit orang yang merasa tak memiliki kendali pada sebuah situasi walau sebenarnya bisa, dan meyakinkan diri sendiri untuk tak mencobanya. Ia merasa tak akan bisa membuat perubahan. Mindset seperti ini misalnya saja dimiliki oleh mereka yang berada dalam hubungan yang abusive atau penelantaran.

Sebenarnya kita bisa meraih kembali kekuatan kendali atas tindakan kita. Makin kita merasakan “kemudi pada kapal” kita, makin kita merasa mampu membangun hidup yang layak untuk kita.

Jangan meremehkan kemampuan diri untuk lepas dari pekerjaan yang tidak disukai, menemukan pasangan yang memperlakukan kita dengan baik, atau membangun perdamaian dengan orangtua yang sudah lama tidak akur.

Baca juga: Demi Kebahagiaan, Sediakan Waktu Luang untuk Diri Sendiri

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com