Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan Cenderung Menghindari Bidang Sains untuk Berkarier, Mengapa?

Kompas.com - 28/11/2019, 10:49 WIB
Nabilla Tashandra,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak ada alasan untuk tidak menunjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sebab dengan ilmu pengetahuan, kita bisa berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitar.

Mendalami ilmu pengetahuan tak terbatas hanya untuk laki-laki. Namun faktanya, jumlah perempuan ilmuwan di Indonesia ternyata masih tergolong rendah.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Arief Rachman ketika menghadiri penganugerahan penghargaan L'Oreal-Unesco for Women in Science (FWIS) 2019, Selasa (26/11/2019).

Arief menyebutkan, dari tiga ilmuwan di Indonesia, hanya satu di antaranya yang merupakan perempuan.

Baca juga: Yang Harus Dilakukan Perempuan Saat Menghadapi Tuntutan Lingkungan

Ia juga menyinggung studi American Psychological Association yang menyebutkan, bahwa perempuan cenderung menghindari fokus ilmu sains bukan karena kemampuan kognitif, melainkan karena pengalaman terhadap sains, struktur edukasi, konteks kebudayaan, stereotype, hingga kurangnya panutan pada bidang tersebut.

"Secara kultural, jangan sampai ada perempuan yang memiliki potensi, tapi karena secara kultural di beberapa daerah masih 'ya sudah laki-laki saja yang maju', itu harus dipatahkan," kata Arief.

Terkait hasil riset tersebut, Communications, Public Affairs and Sustainability Director PT L'Oreal Indonesia, Melanie Masriel menyampaikan pengamatannya selama mensukseskan program L'Oreal-Unesco for Women in Science (FWIS) selama 16 tahun.

Menurutnya, pada tingkat sekolah dan universitas, masih banyak perempuan yang menunjukkan minatnya ke bidang riset dan ilmu pengetahuan. Namun, angka tersebut cenderung berkurang ketika memasuki tingkat pekerjaan.

Baca juga: Kemampuan Matematika Anak Perempuan Tak Kalah dengan Laki-laki

 

Hal ini sebetulnya lebih disebabkan karena seleksi alam, di mana perempuan seringkali memegang peran vital dalam keluarga. Sehingga tak jarang mereka memilih melepaskan pekerjaannya demi keluarga.

"Ada fase di mana mereka harus vakum dulu dari dunia penelitian. Itu mungkin yang membuat laki-laki kadang jalannya lebih cepat."

"Meskipun perempuan selalu bisa mengejar kembali, tapi diperlukan support system untuk memastikan perempuan ini bisa diberdayakan," kata Melanie.

Hal senada diungkapkan oleh Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. rer. nat. Ayu Safitri Nurinsyah, M.IL., M.Sc sebagai salah satu perempuan ilmuwan yang mendapatkan penghargaan.

Ayu yang mendapatkan penghargaan karena penelitiannya mengenai keong, ternyata sudah mulai meneliti subjek tersebut sejak 2006 lalu.

Namun, ia menikah pada 2010 dan keteguhannya dalam menjalani tugas sebagai ilmuwan diuji.

Ayu mengaku beruntung karena sang suami juga merupakan seorang ilmuwan. Sehingga, suami mengerti betul dinamika pekerjaan di lapangan dan bisa membantu mengurus anak.

Semuanya memang bergantung pada sistem dukungan alias support system, dimulai dari keluarga inti.

"Jadi menurut saya, menjadi peneliti, ibu, istri, itu bukan peran yang "atau" tetapi "dan". Perempuan bisa menjadi semuanya," kata Ayu.

Baca juga: Mendorong Peran Perempuan dalam Sikap Inklusif

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com