Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2019, 16:52 WIB
Nabilla Tashandra,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mengakses media sosial rasanya sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh masyarakat saat ini, tak terkecuali para ibu muda.

Namun, kemudahan mengakses informasi dan hiburan lewat media sosial juga membuat sejumlah ibu muda kerap membandingkan kehidupannya dengan kehidupan ibu lain. Mulai dari status keuangan, pola pengasuhan, hingga level kebahagiaan.

Psikolog anak Saskhya Aulia Prima, M.Psi mengatakan, banyak ibu saat ini yang terjebak dalam ekspektasi menjadi sempurna.

Di satu sisi mereka merasa bisa mengerjakan semua hal sendiri, tapi di sisi lain mereka juga seringkali merasa kehidupannya tidak sebaik orang lain di media sosial.

"Lihat timeline sebelah kok hidupnya seperti lebih baik daripada saya, anaknya kok makannya lebih lahap, dan lain sebagainya."

Baca juga: “Mom Shaming”, Perundungan Sesama Ibu

Demikian diungkapkan oleh Sashkya dalam konferensi pers My Baby #momversity di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

Selain kerap merasa ingin sempurna, beberapa pemicu kegalauan ibu muda karena pengaruh media sosial adalah terjadinya mom shaming.

Mom shaming merupakan kritik secara berlebihan tentang pola asuh seseorang terhadap anak mereka.

Komentar tersebut dilontarkan oleh orang-orang tanpa memahami latar belakang si ibu dalam mengunggah konten tertentu.

"Misalnya, kok anaknya makannya itu, kok bajunya seperti itu."

"Kalau dulu (komentar) mungkin cuma dari orangtua, mertua atau suami, sekarang tambah orang-orang di timeline," ucap Saskhya.

Ia mencoba membandingkan daya tahan stres orang-orang zaman dulu dengan saat ini. Jika masyarakat dulu banyak menghadapi kondisi-kondisi stres yang nyata atau menakutkan, seperti adanya binatang buas atau kondisi hidup yang lebih sulit, masyarakat saat ini cenderung tidak terbiasa dengan kondisi stres yang berlangsung terus-menerus.

"Sekarang (postingan) enggak di-like stres, no mention stres, anak orang makan lebih banyak stres. Mengakibatkan kita gampang marah, gampang 'baper'. Otak belum bisa membedakan mana false danger dan real danger," tuturnya.

Selain itu, banjir informasi justru membuat sebagian orang sulit menentukan mana keputusan yang berefek baik bagi anak dan tidak. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan kebingungan di kalangan para ibu muda.

Misalnya, merasa ragu ketika mencoba pendekatan pola asuh tertentu. Sebagian bahkan merasa menyesal dan berpikir pola asuh lainnya lebih baik. Pada akhirnya, kepercayaan diri si ibu dalam memberlakukan pola asuh menjadi turun.

"Kalau enggak percaya diri, anak menjadi bingung dan perkembangannya tidak optimal," kata Saskhya.

Baca juga: 5 Tips Sukses Mengurus Keluarga dan Menjadi Ibu Bahagia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com