Saat itu ayahnya yang berkuliah di Politeknik Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta mengembangkan kulit ceker ayam sebagai raw material.
Kala itu penelitian dilakukan diBalai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Yogyakarta.
Selama satu tahun Nurman melakukan penelitian, dan akhirnya menjadikan bahan tersebut untuk material sepatu.
Ia meminjam uang dari ayahnya, dan pada 2017 baru meluncurkan produk ke pasaran.
Baca juga: Jalan Cerita Kopi Ciwidey Mendunia
Sesuai dugaan, sepatu tersebut diterima pasar. Apalagi penampilan kulit ceker ayam dan teksturnya mirip dengan kulit ular.
Malah bisa dibilang, kulit ular lebih rawan terkelupas dibanding ceker ayam.
Tak hanya itu, penggunaan ceker ayam diharapkan bisa mengurangi penjualan kulit ular dan buaya, demi kelestarian fauna, dan menjaga ekosistem.
Tentu saja, kulit ceker ayam tersedia berlimpah. Ia mengambil kulit ceker ayam dari pengepul di Pasar Kembar, dan tukang sayur yang lewat di depan rumahnya.
Bahkan, di warung-warung ayam goreng, kulit ceker ayam kerap menjadi limbah dan dibuang begitu saja. Artinya, bahan baku ini berada di banyak tempat.
Kulit ceker ayam yang digunakan berukuran lebar dan besar untuk memudahkan pengerjaan. Untuk itu dibutuhkan bobot ayam seberat -minimal, dua kilogram.
Kulit tersebut dibersihkan kemudian melalui proses penyamakan sekitar 14 hari untuk mengubah kulit mentah menjadi kulit tersamak.
Baca juga: Niion, Brand Lokal Bandung yang Segera Mendunia ke Las Vegas
Proses ini membutuhkan campuran tujuh bahan kimia. Untuk satu sepatu, dibutuhkan 20-80 kulit ceker ayam.
Harganya sepatunya sendiri dipasarkan antara Rp 400.000 hingga Rp 6 juta per pasang.
Selain Indonesia, sepatu ceker ayam ini bisa membawa Indonesia mendunia.
Buktinya, sepatu ini sudah menembus banyak negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, Brazil, Perancis, Inggris, dan Turki.