Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Bieber, Mengapa Penyakit Lyme Sering Salah Diagnosis?

Kompas.com - 17/01/2020, 19:57 WIB
Dian Reinis Kumampung,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Sumber Healthline

 

KOMPAS.com— Pekan lalu, penyanyi Justin Bieber mengungkapkan bahwa ia baru saja menerima diagnosis penyakit Lyme, penyakit yang ditularkan melalui kutu yang dapat menyebabkan demam, ruam, nyeri sendi, kelelahan, dan masalah neurologis.

Bieber, 25, berbagi berita di sebuah posting Instagram, di mana ia menyampaikan komentar tentang penampilannya. Dia mengaku memiliki "kasus serius" yang memengaruhi fungsi otak, energi, dan kesehatannya secara keseluruhan.

TMZ melaporkan bahwa penyakit Lyme yang diderita Bieber menyebabkan depresi dan gejala lainnya. Namun penyakit itu tidak terdiagnosis pada tahun lalu.

Baca juga: Justin Bieber Berjuang Melawan Penyakit Lyme

Gejala Lyme memang dapat berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Penyakit ini ditularkan melalui kutu yang paling umum di Amerika Serikat. Bakteri Borrelia burgdorferi menjadi penyebab utamanya.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan 30.000 orang Amerika dipercaya mengidap penyakit ini setiap tahun.

Kebanyakan orang yang terserang Borrelia burgdorferi mengalami ruam berbentuk sirkular, yang kadang-kadang muncul sebagai lingkaran dalam waktu 3 hingga 30 hari setelah digigit oleh kutu yang membawa bakteri ini.

Bila tak segera diatasi, bakteri dapat bermigrasi dari area gigitan ke area lain dari tubuh, khususnya sistem saraf, jantung, dan sendi.

Hal ini dapat menyebabkan berbagai gejala persisten, termasuk kelelahan, keringat di malam hari, leher kaku, sakit kepala, gangguan tidur, dan depresi. Gejala-gejala ini dapat berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Baca juga: Lyme Disease, Penyakit yang Disebabkan Kutu, Kenali Gejala dan Penyebabnya

Beberapa studi memperkirakan bahwa 10 hingga 20 persen orang masih mengalami gejala bahkan setelah perawatan dengan antibiotik standar. Kondisi ini kadang-kadang dikenal sebagai sindrom penyakit Lyme pasca perawatan (PTLDS).

Gejala seperti kelelahan, depresi, kegelisahan, dan kabut otak biasa dialami oleh penderita penyakit Lyme. Penelitian menemukan bahwa 8 hingga 45 persen orang dengan PTLDS mengalami depresi.

John Aucott, direktur Johns Hopkins Lyme Disease Research Center di Baltimore mengatakan, depresi pada penderita dengan PTLDS cenderung ringan sampai sedang, dan jarang menjadi  depresi berat.

Dalam sebuah penelitian pada tahun 2017 yang dimuat di Frontiers in Medicine, Aucott dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang dengan PTLDS memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi, biasanya bersamaan dengan kelelahan, rasa sakit, dan kualitas tidur yang buruk, dibanding orang sehat.

Meskipun depresi berat kurang umum pada orang dengan PTLDS, mereka yang mengalami depresi sedang hingga berat memiliki risiko lebih besar untuk ingin bunuh diri.

Masalahnya, tidak selalu mudah bagi dokter untuk mengetahui perbedaan antara gejala depresi karena penyakit Lyme dan gangguan depresi karena sebab lain.

"Survei kami baru-baru ini, mendapati sulitnya membedakan Lyme dan depresi. Terutama pada gejala vegetatif, seperti kelelahan, gangguan tidur, dan lainnya,” kata Aucott.

Namun, satu studi menemukan bahwa orang dengan PTLDS memiliki lebih banyak kesulitan dengan tugas yang berkaitan dengan memori dibandingkan dengan orang depresi.

Dan masalah memori ini dapat terjadi bersamaan dengan kesulitan bahasa dan perhatian.

Hubungan inflamasi antara Lyme dan depresi

Jadi, apakah penderita mengalami depresi karena mereka memiliki penyakit Lyme, atau karena ada perubahan pada otak mereka yang disebabkan oleh penyakit tersebut?

"Kami pikir kedua mekanisme itu mungkin," kata Aucott.

Secara khusus, para peneliti melihat peradangan yang disebabkan oleh infeksi Borrelia burgdorferi sebagai penyebab gejala Lyme seperti kelelahan dan kabut otak.

Aucott dan rekan-rekannya baru-baru ini menggunakan pencitraan PET untuk memindai otak 12 orang penderita PTLDS.

Mereka menemukan tingkat protein yang lebih tinggi yang disebut translocator protein (TSPO) di delapan wilayah berbeda dari otak partisipan, dibandingkan dengan otak orang sehat. Protein ini merupakan penanda peradangan otak.

Meskipun perlu dibuktikan lagi dalam studi yang lebih besar, hasilnya cocok dengan penelitian lain soal hubungkan peradangan kronis dengan depresi.

Menurut Allie Cashel, salah satu pendiri Suffering the Silence, sebuah komunitas online untuk orang yang hidup dengan penyakit kronis dan cacat, hubungan antara gejala jangka panjang penyakit Lyme, atau penyakit kronis apa pun, dengan kesehatan mental adalah hal yang masuk akal.

"Ketika seseorang sakit untuk waktu yang lama, kesehatan mental mereka akan terganggu. Jika seseorang sakit mental untuk jangka waktu yang lama, kesehatan fisik mereka kemungkinan akan terpengaruh juga,” ujar Cashel.

Semuanya ada di kepala kita

Banyak orang dengan PTLDS, perlu bertahun-tahun dan berganti beberapa dokter sebelum mereka akhirnya mendapatkan diagnosis penyakit Lyme.

Orang yang digigit kutu bahkan mungkin tidak menyadari dirinya digigit. Atau mereka mungkin tidak menderita ruam Lyme yang khas. Apalagi, gejala sakitnya seringkali tidak langsung terlihat tapi bisa saja muncul setelah bertahun-tahun digigit oleh kutu tersebut.

Ketika mendiagnosis, dokter bisa saja salah mendiagnosis karena gejalanya yang hampir sama dengan depresi atau kecemasan.

Andai ada tes yang dapat diandalkan untuk mendeteksi penyakit Lyme, masalah ini mungkin akan hilang. Tetapi saat ini, dokter belum memiliki cara untuk menguji keberadaan Borrelia burgdorferi dalam darah.

Sebagai gantinya, mereka menggunakan tes antibodi, yang mengukur respon sistem kekebalan terhadap bakteri ini.

Jadi, seseorang yang memiliki penyakit Lyme dapat melakukan tes negatif selama bulan pertama terinfeksi jika sistem kekebalan tubuhnya belum menghasilkan tingkat antibodi yang terdeteksi.

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa tes untuk penyakit Lyme tidak selalu akurat dan kadang-kadang hasilnya salah.

Kurangnya diagnosis yang jelas dapat membuat orang dengan PTLDS dalam kebingungan, terus-menerus tidak bisa menjelaskan mengapa mereka merasa sangat lelah sepanjang waktu.

Teman, keluarga, dan dokter mungkin juga meragukan kebenaran pengalaman mereka. Bahkan orang-orang terdekatnya, seperti pasangan atau orang tua bisa saja mengatakan bahwa itu hanya pikiran saja yang menyebabkan sakit.

Cashel didiagnosis terkena penyakit Lyme ketika dia berusia 7 tahun setelah digigit kutu dan muncul ruam bullseye yang khas. Setelah perawatan dengan antibiotik, dia merasa lebih baik, tetapi dia terus mengalami rasa sakit, kelelahan, dan masalah neurologis selama bertahun-tahun.

Dia juga menemukan dirinya berjuang untuk meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sakit, termasuk pada sejumlah dokter.

Mendapatkan bantuan medis untuk gejala Lyme

Dengan penyebaran penyakit Lyme yang cepat dan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kutu lainnya --yang menurut CDC mungkin disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan atau iklim--  dokter perlu mengetahui gejala kompleks yang dapat terjadi pada penyakit Lyme.

International Lyme and Associated Diseases Society nirlaba memiliki direktori dokter yang terlatih untuk mengobati penyakit bawaan kutu yang kompleks.

Namun, masih banyak penelitian yang diperlukan untuk memahami hubungan antara penyakit Lyme dan depresi.

Tetapi beberapa dokter mengatakan bahwa menangani masalah psikologis, apa pun penyebabnya, dapat mendorong pemulihan.

Cashel mengatakan salah satu hal yang didorong oleh organisasinya untuk dilakukan orang adalah memahami semua aspek pengalaman sakit yang mereka alami, termasuk fisik dan mental.

“Jika kamu mengalami sakit yang terus menerus dan didiagnosis menderita Lyme setelah 15 tahun mencari diagnosis, penting untuk menjelaskan adanya perjuangan kesehatan mental dan seberapa sulit menghadapinya,” kata Cashel.

"Dengan cara itu itu dan berbicara tentang penyakit mereka secara lebih terbuka, saya berharap orang-orang akan dapat pulih dari trauma sedikit lebih mudah," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com