KOMPAS.com - Masalah depresi dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak mendapatkan perhatian publik. Tak sedikit pula orang yang sampai memutuskan mengakhiri hidup karena depresi berkepanjangan.
Secara global, diperkirakan sekitar 350 juta orang berjuang melawan depresi, dengan banyak orang lainnya masih belum terdiagnosis.
Demi membantu para pasiennya, para ahli sering memberikan resep antidepresan untuk memperbaiki keseimbangan kimia pada fungsi otak para pasien depresi. Meski begitu, banyak orang yang depresi memilih untuk menjalani perawatan secara alami.
Akan tetapi, penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa antidepresan dan obat-obat lain yang diresepkan sebetulnya tidak begitu efektif.
Institut Nasional Kesehatan Mental (National Institute of Mental Health/NIMH) menyimpulkan bahwa penggunaan antidepresan adalah masalah yang rumit serta tidak ada konsensus di antara pengguna atau dokter bahwa kelas obat tertentu bisa berhasil secara universal.
Mengapa dikatakan kompleks? Sebab, otak mencatat rangsangan dalam "matriks nyeri", tetapi tidak selalu membedakan di mana dan bagaimana rasa sakit itu dialami.
Selain itu, tidak juga selalu bisa dibedakan antara rasa sakit emosional dan fisik. Banyak obat dirancang untuk membaca neurotransmitter spesifik dalam daerah otak yang tepat, tetapi tanpa hasil pasti di mana depresi dialami secara kranial (berhubungan dengan otak). Tidak heran jika cara farmasi tidak selalu berfungsi.
Nah, mengapa tidak mencoba pengobatan alternatif yang lebih alami?
Target obat-obatan adalah untuk menstimulasi berbagai neurotransmitter dan sel kimia otak serta untuk membawa keseimbangan fisik dan emosional tubuh.
Mengonsumsi pil mungkin memang terdengar lebih mudah, tetapi ada sejumlah pendekatan alternatif yang juga bisa membantu meredakan gejala depresi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.