Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Nike ZoomX Vaporfly dan Kompetitor yang Mengikuti Jejaknya

Kompas.com - 05/02/2020, 08:50 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setelah penyelidikan panjang, World Athletics --badan pengelola olahraga atletik internasional yang juga disebut IAAF-- memberi keputusan resmi terkait Nike ZoomX Vaporfly.

Walau mendapat kritikan karena disebut meningkatan performa atlet, Nike ZoomX Vaporfly tetap akan diizinkan dipakai di Tokyo Olympics 2020.

Sepatu Vaporly generasi terbaru Nike itu diperkenalkan pada 2019 setelah mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan menguji teknologi footwear.

Sepatu ini kemudian diuji coba oleh dua pelari --Eliud Kipchoge dan Brigid Kosgei asal Kenya-- yang memecahkan dua rekor maraton berturut-turut pada Oktober 2019.

Pada 12 Oktober 2019, Kipchoge menyelesaikan lari maraton dalam waktu kurang dari dua jam. Namun rekor ini tidak tercatat resmi karena Kipchoge dibantu beberapa pelari yang bergantian menjadi pacer untuk menjaga kecepatan larinya.

Sedangkan Kosgei mencatatkan waktu 81 detik lebih cepat dari catatan Paula Radcliffe satu hari berselang.

Hal itu menarik perhatian IAAF, di mana mereka memberi perhatian khusus dari sneakers Nike yang dipakai oleh dua atlet itu.

Untuk perlombaan yang tidak resmi di atas --tidak bersertifikat IAAF-- Kipchoge mengenakan sneaker prototipe Nike dengan unit sol ekstra tebal.

Sementara Kosgei mengikuti Chicago Marathon 2019 dengan sepasang Vaporfly Next%.

Baca juga: Kipchoge Menorehkan Sejarah dalam Lari Jarak Jauh

Namun penilaian IAAF tidak secara khusus mengarah pada sneaker Vaporfly. Peraturan itu pada dasarnya menyebutkan sepatu lari tidak boleh memberikan "bantuan atau keuntungan tidak adil" dan harus "tersedia secara wajar" untuk semua orang.

IAAF kemudian mendapat protes dari atlet dari brand lain yang menganggap sepatu Nike tersebut memberi keuntungan tidak adil karena mampu meningkatkan efisiensi energi atlet hingga 4%.

Karena keberatan beberapa pihak, IAAF berencana memodifikasi peraturan itu dengan tujuan "untuk memberi kejelasan pada atlet dan produsen sepatu di seluruh dunia serta melindungi integritas olahraga" pada tingkat kompetisi tertinggi.

Mulai 30 April 2020, peraturan baru akan berlaku, yaitu melarang pelari elit memakai sneakers yang belum tersedia di pasaran setidaknya empat bulan pertama. Ini termasuk sneakers prototipe.

Aturan IAAF juga menetapkan, sepatu yang memenuhi syarat harus memiliki sol berukuran di bawah 40 mm dan tidak mengandung lebih dari satu shank yang menyerupai pegas.

Sebagai catatan, shank adalah bagian dari struktur pendukung antara insole dan outsole pada sepatu. Fungsinya mengurangi beban yang ditimbulkan kaki dan betis pemakainya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com