Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/03/2020, 20:28 WIB
Bestari Kumala Dewi

Editor

KOMPAS.com - Hanya dalam waktu dua bulan sejak ditemukan di China, virus corona menyebar ke penjuru dunia, kecuali Antartika.

Penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut COVID-19 itu, kini memiliki tingkat kematian lebih tinggi daripada flu.

Ya, COVID-19 memang mematikan. Namun, dilansir dari Live Science, komunitas ilmiah belum menentukan tingkat fatalitas virus corona di tengah meningkatnya jumlah pasien di banyak negara, termasuk A.S.

Baca juga: Merasa Terpapar Virus Corona, Kapan Harus ke Dokter?

Perkiraan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, bahwa hampir 3,4 persen pasien COVID-19 di seluruh dunia telah meninggal.

Di China, dengan 80.422 kasus yang dikonfirmasi, otoritas kesehatan mengumumkan tingkat kematian meningkat menjadi 2,3 persen.

Kebanyakan orang yang meninggal karena virus tersebut adalah pasien usia lanjut dan mereka yang memiliki masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya.

Orang yang terinfeksi virus corona berusia 80 tahun dan lebih tua memiliki tingkat kematian yang tinggi sebesar 14,8 persen. Sedangkan, pasien berusia antara 70 dan 79 tahun memiliki tingkat kematian 8 persen.

Baca juga: Berapa Lama Virus Corona Bisa Hidup di Permukaan Benda?

Di Italia, semua pasien yang telah meninggal karena COVID-19 berusia di atas 60 tahun. Menurut WHO, negara tersebut saat ini memiliki angka kematian tertinggi di Eropa karena virus corona, dengan 80 kematian yang tercatat.

Namun, otoritas kesehatan dan ilmuwan mencatat, bahwa jumlah infeksi dan kematian yang dilaporkan bisa jadi tidak akurat.

Selain itu juga sulit untuk menghitung kematian yang terkait dengan virus corona baru, karena bisa memakan waktu berhari-hari hingga beberapa minggu bagi pasien yang sakit parah untuk meninggal karena COVID-19.

Para peneliti mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini di Swiss Medical Weekly, bahwa pihak berwenang harus menghitung angka kematian dengan membagi jumlah infeksi yang diketahui dari satu atau dua minggu sebelumnya.

Namun, masalah lain adalah bahwa ahli epidemiologi percaya jumlah total infeksi diremehkan di beberapa negara.

Hal itu karena orang dengan sedikit atau gejala ringan, mungkin tidak pernah pergi ke klinik atau rumah sakit, sehingga mereka tidak masuk dalam penghitungan.

Baca juga: Pasien Virus Corona di Spanyol Sembuh berkat Obat HIV

 

Apa yang Membuat COVID-19 Mematikan?

Efek COVID-19 dapat menyebabkan kematian. Tetapi di beberapa Negara, penyakit coronavirus dapat membunuh lebih banyak orang karena buruknya akses ke perawatan medis yang tepat.

Laporan menunjukkan, bahwa masalah pada sistem medis di Wuhan, China, di mana wabah dimulai, berkontribusi pada banyak kematian.

WHO mengatakan dalam sebuah laporan pada Februari, rasio fatalitas kasus di Wuhan adalah 5,8 persen dibandingkan dengan negara lain yang hanya 0,7 persen.

Baca juga: Pentingnya Vaksin Influenza Saat Wabah Covid-19

Di A.S., pengujian untuk coronavirus novel juga tidak memadai, yang mana itu membuatnya sulit untuk mendiagnosis pasien dan mendapatkan jumlah kasus yang tepat, menurut Marc Lipsitch, direktur pusat dinamika penyakit menular di Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard T.H Chan.

"Semua angka-angka itu sangat fluktuatif dan sangat spekulatif," pungkas Lipsitch dalam sebuah forum baru-baru ini.

Baca juga: Kelompok yang Paling Rentan jika Tertular Virus Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com