KOMPAS.com - Kain Pinawetengan adalah kain tradisional khas Minahasa.
Kain ini dibuat ulang dengan corak dan teknik baru, karena kain Minahasa yang asli telah lama punah.
Disebutkan, hanya ada satu wastra dari Minahasa di Indonesia yang disimpan di Museum Nasional.
Baca juga: Mengenal Kain Tradisional Melalui Adiwastra Nusantara 2019
Masyarakat Minahasa pada awalnya mempunyai dua jenis wastra tradisional, yaitu kain Bentenan dan Pinatikan.
Namun, sekitar 100 tahun lalu, kedua kain ini sudah tidak diproduksi dan dipakai masyarakat setempat.
Hingga kemudian, Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara yang dipimpin Irjen Pol (purn) Benny Mamoto dan Iyarita Mamoto menginisiasi pengembangan kain Pinawetengan dengan kearifan lokal budaya Minahasa.
Baca juga: Menjaga Wastra Nusantara sebagai Bentuk Cinta Warisan Budaya
Kain Pinawetengan memulai debutnya di tahun 2005.
"Saya melihat, kain tenun di Sulawesi Utara hampir punah karena banyaknya budaya yang masuk dari luar negeri."
Begitu kata Iyarita Mamoto dalam acara peresmian Rumah Kain Pinawetengan di Jakarta, Kamis (12/3/2020) kemarin.
Awalnya, kain Pinawetengan hanya memproduksi kain bermotif yang ada di Watu Pinawetengan dalam bentuk cetak.
Lalu pada 2007, kain Pinawetengan mengembangkan produknya dengan teknik pembuatan tradisional.
"Seiring waktu, saya ingin membuat kain yang bukan hanya dalam bentuk print."
"Akhirnya, saya mengadakan pelatihan bagi para perajin. Dari 100 orang, hanya tersisa 16 orang yang mengikuti penenunan," ujar Iyarita.
Baca juga: Saat Inspeksi Corona, Dubes RI di China Kaget Lihat Dior Bikin Batik
Kain Pinawetengan juga mengembangkan tenun songket yang ragam motifnya diambil dari motif tradisional Minahasa.
Sebagai catatan, kain Pinawetengan telah dipatenkan dan tercatat dalam Guiness World Record yang diakui sebagai tenun songket terpanjang di dunia, yaitu 101 meter tanpa sambungan.