Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/03/2020, 21:53 WIB
Gading Perkasa,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Namun, tidak bagi yang lain, kata Neha Chaudhary, MD, psikiater anak dan remaja di Massachusetts General Hospital and Harvard Medical School.

"Pada sebagian orang, ini mungkin memutus siklus yang mulai terasa beracun atau memiliki efek negatif," katanya.

"Bagi yang lain, berhenti sama sekali bisa mengarah pada keinginan penggunaannya dan tak mampu bertahan."

"Atau membuat seseorang tidak memperoleh hal menguntungkan dari media sosial, seperti cara tetap terhubung dan meraih dukungan."

Daripada mengandalkan detoksifikasi total, Chaudhary merekomendasikan menetapkan batasan dan mengajak beberapa teman serta keluarga untuk bergabung dengan kita.

"Akuntabilitas memainkan peran besar dalam mencoba melakukan perubahan," kata dia.

"Mungkin memutuskan bersama seorang teman bahwa kita ingin mengurangi penggunaan media sosial atau memberi tahu anggota keluarga tujuan kita, sehingga mereka dapat ikut serta."

"Apa pun itu, cari cara agar seseorang membantu kita tetap pada jalur yang benar --keluar dari kebiasaan seorang diri bisa jadi sulit."

Dalam kasus yang parah, seseorang yang khawatir tentang kecanduan media sosial juga harus mempertimbangkan mencari bantuan profesional dari seorang terapis atau spesialis kesehatan mental.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com